MARTAPURA, koranbanjar.net – KPUD dan Bawaslu Banjar belum menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Pilkada Kabupaten Banjar 2020.
Padahal, sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 900/9629/SJ, jadwal tahapan/kegiatan penandatanganan NPHD paling lambat dilaksanakan pemerintah daerah (Pemda) tanggal 1 Oktober 2019.
Keterlambatan ini disinyalir lantaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar menetapkan dana hibah Pilkada 2020 jauh di bawah anggaran yang diajukan KPUD dan Bawaslu Banjar.
KPUD Banjar misalnya, memgajukan anggaran 58,3 miliar kemudian diputuskan oleh Pemkab Banjar sekitar 25 miliar. Begitu juga Bawaslu Banjar, mengajukan anggaran 26 miliar, yang dikabulkan hanya 6,1 miliar.
“Segala sesuatu yang diperlukan sebagaimana di RAB kami, itu tidak mencukupi. Untuk honorarium ad hoc pun tidak mencukupi, jadi bagaimana berkegiatan?” ujar Ketua Bawaslu Fajeri Tamzidillah, menjelaskan dana hibah 6 miliar tidak mencukupi, Kamis (3/10/2019).
Fajeri membandingkan, Pilkada Kabupaten Banjar tahun 2015 yang kala itu masih Panwaslu, mendapatkan dana hibah 5 miliar.
Sementara saat ini Bawaslu kabupaten/kota sudah menjadi lembaga yang independen berdiri mandiri, pengelolaan anggarannya tidak lagi bergantung pada Bawaslu provinsi. Sehingga dana hibah dianggarkan melalui Pemda.
Fajeri juga mengkomparasikan, Bawaslu Tanah Bumbu mendapatkan dana hibah 10,5 miliar, Kotabaru 15 miliar lebih , Hulu Sungai Tengah 10 miliar, Banjarbaru, 4,7 Miliar.
“Kalau dibandingkan dengan kita, Kabupaten Banjar memiliki 20 kecamatan, satu kecamatan saja lebih besar Kotabaru. Namun, kita punya 290 desa dan kelurahan, terbanyak di Kalsel. Kotabaru cuma 202 desa dan kelurahan. Pun TPS jauh lebih banyak lagi. Nah ini yg jdi pertimbangan kita, masa kita Cuma diberi 6 miliar,” jelas Fajeri.
Diakui Fajeri, setelah diverifikasi ulang, anggaran dapat dikurangi menjadi 22 miliar lebih. Ini karena jumlah TPS berkurang dari jumlah TPS Pemilu serentak 2019 lalu. Saat itu 1.837 TPS kini dikerucutkan menjadi 1.105 TPS.
‘Itu dengan asumsi pilkada hanya dua surat suara, kemungkinan 1 TPS itu jumlah pemilihnya 600 orang pemilih, sementara Pemilu 2019 kemarin satu TPS 300 orang,” ucapnya menjelaskan usai pertemuan dengan Bappeda Banjar memverifikasi anggaran yang diajukan Bawaslu Banjar.
Fajeri mengaku, usai pertemuan dengan Bappeda itu, hingga saat ini tidak ada lagi diajak duduk bersama, membahas NPHD tersebut.
“Anggaran yang disampaikan itu sudah dilampiri regulasi-regulasinya. Semua sudah kita sampaikan. Honornya itu ada Permendagri-nya, ada Permenkeu-nya, ada standar biaya Bawaslunya. Semuanya sdh lengkap,” ungkap Fajeri.
Baca juga: Menyongsong Pilkada 2020, Bawaslu Banjar Usul Anggaran 26 M ke Pemkab
Anggaran itu pun, jelas Fajeri, sudah melakukan mulai dari provinsi hingga ke Jogja dan Surabaya.
Se Kalsel, papar Fajeri, hanya Kabupaten Banjar yang Ketua DPRD dan pemerintahnya dibawa langsung menghadap Ketua Bawaslu RI, untuk mendapat penjelasan terkait NPHD.
“Kami pun berkomitemen pada saat itu, ditegaskan Bawaslu RI, yang dianggarkan BawasIu silakan diverifikasi, pastikan, apa yang diusulkan adalah berdasarkan kebutuhan, dan semuanya itu riil, ada aturannya semua,” tandas mantan Ketua KPUD Banjar ini.
Ia menegaskan, jika angka 6 miliar itu tidak ada perubahan dan ternyata tidak bisa membiayai pengawasan, pihaknya akan berkonsultasi dengan Bawaslu provinsi dan RI dan menjadi cacatan nasional.
“Kita tidak mau menandatangi NPHD, karena jika sudah ditandatangui berarti sudah ada persetujuan, dan itu yang terjadi di beberapa darerah,” tandasnya.
“Percuma saja kalau kita tandatangi, tapi tidak bisa melaksanakan pengawasan. Ini bukan berarti kami yang minta-minta, tapi ini sudah perintah undang-undang,” cetus Fajeri.
Persoalan ini, beber Fajeri, menjadi perhatian Kemendagri. Nantinya Pemkab Banjar, KPU, dan Bawaslu Banjar memenuhi panggilan Kemendagri membahas keterlambatan NPHD tersebut.
“Kita bersama KPU dan Pemkab Banjar akan menemui Kemendagri membahas soal ini. Saya berharap NPHD ini clear dalam Oktober ini,” pungkas Ketua Bawaslu Banjar. (dra)