Religi  

KPAI Sebut Kasus Kekerasan Anak dalam Pendidikan Meningkat di Tahun 2018

JAKARTA, KORANBANJAR.NET – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melihat trend kekerasan terhadap anak dalam pendidikan di tahun 2018 ini cukup meningkat.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan, dari total 445 kasus bidang pendidikan sepanjang tahun ini, 51,20 persen atau 228 kasus terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang kerap dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah dan juga peserta didik.

Selain itu, ia mengatakan, kasus cyberbully (intimidasi atau penindasan di dunia maya), red) di kalangan siswa, juga meningkat.

Selanjutnya, kasus tawuran pelajar mencapai 144 kasus atau 32,35 persen, dan 73 kasus atau 16,50 persen merupakan kasus anak yang menjadi korban kebijakan.

Dalam konferensi pers di kantor KPAI, Jakarta, Kamis (27/12/2018), Retno menyoroti kasus cyberbully di kalangan siswa yang meningkat secara signifikan. Hal ini, kata Retno, dikarenakan perkembangan teknologi dan pengaruh media sosial yang cukup masif di kalangan pelajar.

“Total ada 206 kasus pada 21 Desember, ini peningkatan memang. Pada tahun sebelum 2015, cyberbully itu nol, atau tidak ada laporan satu pun tentang cyberbully, tapi terjadi terus naik dari 2015. 2015, pertama itu pun hanya empat, lalu terus naik, terakhir mencapai 206. Jadi seiring dengan kemajuan teknologi dan media sosial, memang terjadi peningkatan, terutama untuk cyberbully,” kata Retno.

Selain kasus kekerasan, KPAI mencatat, anak-anak juga menghadapi permasalahan pendidikan pasca bencana alam yang terjadi sepanjang tahun ini. Kerusakan gedung sekolah, trauma siswa dan guru menjadi permasalahan yang cukup pelik.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pihak KPAI melihat bahwa pihak sekolah saja tidak cukup. Perlu kerjasama dengan berbagai lembaga dan juga masyarakat untuk mengatasi atau bahkan mencegah sebelum kekerasan itu terjadi pada anak-anak.

Untuk itu, Reton meyebutkan, KPAI merekomendasikan pemerintah agar mengadakan pelatihan-pelatihan guru, sehingga tidak ada lagi guru yang dipukul oleh siswa, atau guru yang menghukum siswanya dengan memukul dan lain-lain.

Selain itu, KPAI juga mendorong Kemendikbud, Kemenag dan dinas pendidikan untuk membuat program edukasi kepada peserta didik, terkait kesehatan reproduksi dan penyadaran bahwa ada bagian tertentu di tubuhnya yang tidak boleh disentuh oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.

Mengingat kasus kekerasan seksual cukup tinggi terjadi di ruang kelas, ia juga menyarankan agar setiap ruang kelas di sekolah dipasangi CCTV.

Menurut Retno, hal tersebut dapat melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.

Terkait masalah pendidikan pasca bencana alam, KPAI juga mendorong pemerintah untuk membangun lebih banyak lagi sekolah darurat, dan mengembangkan kurikulum sekolah darurat serta pemulihan psikologis terhadap pendidik dan peserta didik yang terdampak bencana.

Menanggapi hal ini, Mendikbud RI, Muhadjir Effendy, mengakui, untuk mengatasi permasalahan kekerasan anak dalam pendidikan memang membutuhkan koordinasi yang lebih intensif antar semua Kementerian/Lembaga (K/L).

Muhadjir mengatakan, setiap K/L harus punya otoritas masing-masing guna mengatasi permasalahan yang ada.

“Masalahnya tentu harus ditangani secara terjalin dan berkelindan antar Kementerian / Lembaga terkait. Karena untuk anak, ada kementerian yang sebetulnya bertanggung jawab terhadap perlindungan anak misalnya, kemudian kaitannya dengan narkoba misalnya. Jadi saling berkelindan. Itu yang penting sebetulnya, bagaimana meningkatkan koordinasi satu sama lain secara intensif, dan saya sangat mengakui bahwa semuanya memang akhirnya bermuara kepada sekolah,” papar Muhadjir.

Ia menjelaskan, Kemendikbud juga mengembangkan manajemen berbasis sekolah, di mana seluruh aktivitas siswa baik di dalam maupun di luar sekolah harus dikelola oleh manajemen sekolah. Jadi, kalaupun ada kekerasan di luar sekolah, makan pihak sekolah tidak bisa lepas tanggung jawab begitu saja. (gi/uh/voa/dny)