Religi  

Kisah Luka Pembangunan Waduk Riam Kanan (Bagian Kedua) 

-Diperlakukan seperti Pemberontak-

Warga Riam Kanan yang menuntut hak ganti rugi atas dibangunnya PLTA di lahan milik mereka ternyata ditanggapi dengan perlakuan yang tak mengenakkan. Mereka diperlakukan seperti sekumpulan pemberontak. Padahal mereka adalah korban.

Waktu itu, warga Riam Kanan yang tak bisa mendapatkan haknya berulah. Mereka mengancam akan menjebol bendungan Riam Kanan bila tuntutan mereka tak dipedulikan. Oleh pemerintah, Satuan Brimob disiagakan berjaga-jaga lengkap dengan senjata.

“Mereka pakai loreng di wajah. Seperti mau perang saja,” ujar salah satu Tim 11 Ganti Rugi Lahan Riam Kanan, Zainal Abidin.

Saat itu, Sekretaris Tim Sebelas Pembebasan Ganti Rugi Lahan Riam Kanan ini sempat terpikir untuk melakukan siasat. Dia menebang banyak bambu untuk dijadikan obor. Obor itu rencananya ditancapkan di sebuah pulau seberang bendungan. Bermodal kaset dan pengeras suara, dia seolah-olah melakukan penggalangan massa di malam hari yang bertujuan menjebol bendungan Riam Kanan. Padahal hanya obor tanpa manusia.

“Ya, resikonya ditembaki brimob,” ujar Zainal.

Namun rencana itu urung dilaksanakan, karena dia ditugasi melakukan perwakilan Tim Sebelas ke Surabaya. Karena alasan itulah rencana tersebut tak sempat diwujudkan.

Keributan yang diakibatkan “ancaman” tersebut rupanya sampai ke telinga KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani. Oleh beliau, para perwakilan dari warga Riam Kanan kemudian diundang untuk bertamu ke rumah beliau di Sekumpul. Di sana mereka diberi wejangan yang intinya agar tidak melakukan penjebolan waduk tersebut.

“Pintar juga pemerintah ini. Setelah jalan apa pun tak bisa mengendurkan semangat kami. Mereka meminta ulama,” ucap Zainal.

Warga pun mengalah, meski tuntutan terus dilayangkan. Kala itu ke Jakarta. Berbekal dana pribadi pemerintah setempat, akhirnta tak kurang dari 40 orang warga Riam Kanan melakukan unjuk rasa di depan istana dan kementerian ESDM.

“Kami sempat menang sidang,” ucap Zainal mengenang keputusan di Pengadilan Negeri Jakarta bertanggal 6 Desember 2006. Namun, keputusan itu tak jua diselesaikan.

Warga yang tak cepat mendapat jawaban pasti kapan dibayarnya ganti rugi tersebut, lama kelamaan surut harapan. Bekal dari kampung halaman mulai menipis, terlebih di pulau seberang (Jakarta), mereka tak memiliki kerabat untuk sekadar meminjam utang.

Keadaan itu pun membuat mereka pulang ke kampung halaman dengan uang hasil “sumbangan” warga Banjar yang kebetulan ada di Jakarta.

Saat mau pulang, Zainal –koordinator unjuk rasa- mengaku telah bahagia dapat membelikan tiket untuk warga yang unjuk rasa. Namun, karena terlalu memikirkan keadaan warga, dia malah lupa membeli tiketnya sendiri.

“Padahal waktu itu istriku sangat berharap aku pulang. Berkas permohonan lamaran kerja istriku aku yang mengurus, dan sulit untuk diwakilkan,” ucap Zainal.

Dalam keadaan seperti itu, sembari berlari mencari pesawat yang kekurangan penumpang menuju Banjarmasin, dia ‘mendemo’ Tuhan.

“Aku ingat janji Tuhan: apabila memudahkan orang lain, akan dimudahkan. Benarkah itu Tuhan? Ujarku dalam hati,” tutur pensiunan PNS ini.

Ternyata setelah beberapa kali bertanya pada petugas di Bandara, ada sebuah pesawat menuju Banjarmasin yang kosong.

“Ternyata memang benar janji Tuhan itu,” tandas Guru Zainal yang kemudian pulang ke kampung halaman, dengan perasaan pedih karena timpangnya keadilan yang mereka dapatkan.(abn)