BANJARBARU, KORANBANJAR.NET – Walhi Kalsel menyatakan sejak ditetapkannya Hari Anti Tambang pada 29 Mei 2006, 13 tahun lalu, hingga kini negara masih lalai dalam menjamin keselamatan rakyat dari dampak negatif yang muncul dari perusahan-perusahaan tambang.
Bahkan Walhi Kalsel menilai negara masih terjebak dalam balutan kekuatan korporasi dari para pengusaha tambang.
Pernyataan tersebut disampaikan Walhi Kalsel pada siaran tertulisnya dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang (Hatam) Nasional, yang tahun ini jatuh pada Rabu 29 Mei.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, melihat Pemilu 2019 tadi tak lepas dari cengkraman para pengusaha tambang, termasuk di Kalsel.
Menurutnya, pilpres maupun pileg serentak tahun ini masih diisi para pengusaha tambang, baik secara langsung ikut dalam kontestasi pemilu maupun bermain di belakang layar.
“Seperti kita ketahui saat ini Kasel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis, di mana dari total 3,7 juta hektar wilayahnya, 50 persennya dibebani ijin tambang (33 persen tambang, 17 persen sawit),” katanya.
Tentu, tegas Kisworo, persoalan ini harus menjadi perhatian semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Harus ada langkah-langkah yang tegas dan jelas dari negara dalam mengurai permasalahan kejahatan tambang demi menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan di Kalsel,” tegasnya.
Dia mengemukakan, terancamnya rimba terakhir pegunungan Meratus yang kemudian memicu timbulnya gerakan Save Meratus dan gugatan terhadap Menteri ESDM merupakan salah satu bukti pentingnya penyelamatan rakyat dan lingkungan di Kalsel dari kerakusan pertambangan.
Selain itu, dia menyebut maraknya aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) yang baru-baru ini terjadi di Tabalong, rusaknya tutupan lahan, hutan dan sungai seperti di Sungai Amandit, Kabupaten HSS, masih seringnya terjadi bencana banjir, tergusurnya dan hilangnya ruang hidup rakyat karena aktivitas pertambangan seperti di Desa Wonorejo, Kabupaten Balangan, serta terancam hilangnya pulau-pulau kecil seperti Pulau Sebuku dan Pulau Laut Kotabaru, seharusnya menjadi cambuk keras bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk segera bertindak, terutama dalam penegakan hukum di sektor pertambangan.
“Kerusakan dan dampak buruk akibat daya rusak tambang yang ada itupun tidak sebanding dengan royalti maupun PAD yang diterima pemerintah daerah,” paparnya.
Oleh karena itu, bertepatan dengan Hari Anti Tambang 2019, Walhi Kalsel mendesak pemerintah pusat maupun daerah membentuk Komisi Khusus Kejahatan Tambang dan membentuk Pengadilan Lingkungan.
Walhi Kalsel juga mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan audit lingkungan dan mencabut ijin-ijin tambang yang nakal serta ijin tambang yang masih belum beroperasi, dan mengembalikan kawasan tersebut kepada rakyat sebagai bentuk bahwa negara mengakui wilayah kelola rakyat.
Pemerintah pusat dan daerah dituntut Walhi Kalsel harus serius dalam menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan, terutama dalam penyusunan program di dokumen RPJM dan RKP, serta harus menyetop ijin-ijin baru industri ekstraktif dan segera menyiapkan program-program untuk energi baru dan pendapatan daerah yang lebih ramah lingkungan dan berkeadilan lintas generasi. (ykw/dny)