Religi  

Tapera Menambah Sengsara?

Selain membantu rakyat mengusahakan tempat tinggal, Tapera juga punya fungsi edukasi untuk mengajak masyarakat menabung, berjaga untuk hari tua.

JAKARTA, Koranbanjar.net – Di masa pandemi ini, keluhan demi keluhan datang bertubi-tubi bagai litani tak bertepi: iuran BPJS, tagihan listrik, kini Tapera. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah sengsara, masih suruh bayar Tapera! Begitulah kira-kira publik berkeluh kesah.

Sebelum buru-buru mengambil posisi pro atau kontra, ada baiknya kita simak data dan fakta, sambil mundur sedikit, menimbang tenang gambar besar dari Tapera. Fakta dan gambar besar ini penting, tapi sering luput dari perhatian, terkubur oleh debat panas penuh emosi serba keruh dan niat gaduh.

Tapera bukan kesewenang-wenangan. Ini amanat konstitusi yang memerintahkan supaya negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesejahteraan rakyatnya, termasuk tempat tinggal yang layak. Dalam konteks itu, Tapera adalah salah satu upaya pemerintah untuk melengkapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai UU No 4 Tahun 2016.

Bagaimana caranya? Gotong royong. Kalau istilah itu telah telanjur klise, sebutlah kerja bakti: semua bekerja, saling bantu, berbagi beban, berbakti bagi kebaikan bersama. Pada akhirnya semua menikmati hasilnya.

Gotong royong juga berarti solidaritas: yang mampu membantu yang kurang mampu, yang beruntung menolong yang kurang beruntung. Bila hidup ibarat lomba lari, gotong royong hendak memastikan supaya masing-masing pelari berangkat dari titik yang kurang lebih setara.

Bagaimana konkretnya? Sederhana: iuran. Siapa yang memulai? Negara. Negara babat alas, menyiangi ilalang. Pemerintah dan pemberi kerja menanggung 0,5 persen, peserta mengiur 2,5 persen. Mereka yang bekerja mandiri dan di sektor swasta menjadi yang terakhir untuk dibebani iuran. Mula-mula, eks-peserta Taperum-PNS dan PNS baru akan jadi peserta dan membayar iuran. Ini juga terkait keteladanan. Dari situ, kepesertaan pelan-pelan diperluas: Pekerja Penerima Upah di BUMN/BUMD/BUMDes, TNI/Polri, baru kemudian – yang terakhir, pekerja swasta, pekerja mandiri, dan pekerja informal.

Jangka waktu pun leluasa. Pemberi Kerja sektor swasta diberi waktu paling lambat tujuh tahun untuk mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta Tapera. Jadi, bagi perusahaan yang merasa masih berat, tak perlu risau. Masih ada waktu sampai tujuh tahun. Sekali lagi, negara babat alas. Sektor swasta dan pekerja mandiri/informal yang terakhir, sembari mengambil nafas pemulihan ekonomi.

Urutan perluasan peserta itu pesannya jelas: Tapera tak buta pandemi. Ia dirancang tetap berjalan, sedapat mungkin tanpa memberatkan. 1 Januari 2021 baru mulai iuran untuk PNS. Kenapa aturan terbit sekarang? Demi persiapan administrasi dan kelembagaan. Justru kita harus menyiapkan dengan baik sehingga pasca-pandemi banyak hal baik telah tertata dan tersedia.

Lantas buat peserta yang sudah punya rumah, buat apa ikut Tapera? Dana Tapera bisa dimanfaatkan bukan hanya untuk rumah pertama. Tersedia fasilitas lain, misalnya renovasi rumah. Bagi yang cukup mampu atau kurang membutuhkan, dananya pun tak hilang. Peserta  menerima pengembalian pokok simpanan beserta imbal hasil investasi pada saat masa kepesertaan berakhir.

Dengan kata lain, selain membantu rakyat mengusahakan tempat tinggal, Tapera juga punya fungsi edukasi: mendidik masyarakat untuk menabung, berjaga untuk hari tua. Umum diketahui, tingkat tabungan Indonesia masih rendah. Partisipasi tabungan masyarakat Indonesia berkisar antara 30% hingga 33%. Berdasarkan data World Bank, tingkat tabungan kotor (gross saving rate) Indonesia pada tahun 2017 berada di angka 30,87% dari PDB. Angka ini bahkan lebih rendah dibanding China yakni 47%. Dari sisi ini, Tapera berpengaruh positif dalam hal meningkatkan kesadaran menabung.

Program semacam Tapera pun cukup lazim di beberapa negara. Di Singapura ada Central Provident Fund (CPF). Di Malaysia ada Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP). Di Korea Selatan, program serupa adalah National Housing and Urban Fund (NHUF). Program-program tersebut sudah terintegrasi ke dalam sistem jaminan sosial nasional pada negara masing-masing.

Dana Tapera akan dikelola oleh Bank Kustodian dan Manajer Investasi berdasarkan kontrak investasi dan mengacu pada UU. Peserta sebagai individual investor dapat mengakses laporan perkembangan dana masing-masing setiap saat.

Aktivitas Bank Kustodian dan Manajer Investasi diatur dan diawasi oleh OJK. Mereka wajib melaporkan kegiatannya kepada BP Tapera secara periodik. Hasil pengelolaan dana Tapera diaudit secara tahunan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dan dipublikasikan melalui media massa secara berkala setiap tahun. Jadi, kita sebagai peserta dapat memantau dana yang kita investasikan.

Tak lupa, komitmen Pemerintah pun musti diuji. Langkah maju dan berani dengan Tapera harus tetap disertai dengan perbaikan tata kelola dan akuntabilitas. Bayang-bayang kegagalan masa lalu masih menyisakan trauma, termasuk penuntasan berbagai kasus manipulasi investasi yang dapat menggerus kepercayaan publik. Itu adalah batu uji yang akan memperkuat spirit gotong royong. Ini undangan bagi publik untuk dapat melibati lebih aktif.

Jadi, Tapera menambah sengsara? Barangkali iya, kalau kita egois terpaku pada kepentingan masing-masing. Jelas tidak, bila kita percaya bahwa alasan berdirinya republik adalah untuk menggapai bahagia dan sejahtera bersama. Mari mengejar impian dan melukis masa depan. Lantaran kebersamaan kita, Tapera menjadi kita peduli, maka sejahtera! (Yustinus Prastowo, Stafsus Menkeu RI/dba)