JAKARTA, KORANBANJAR.NET – Menjelang pelaksanaan pemilu pada 17 April 2019 mendatang, berbagai isu telah berkembang di tengah masyarakat. Hal ini telah mengundang keprihatinan Wakil Ketua Fraksi PPP MPR, Syaifullah Tamliha.
Karenanya dia mengajak seluruh elemen masyarakat dan elite politik agar tidak menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) dalam kontestasi Pemilu mendatang.
Isu-isu seputar SARA jangan lagi menjadi bahan perdebatan. Sebab, para pendiri bangsa sudah merumuskan dan menyepakati bahwa keberagaman merupakan kekayaan, bahkan menjadi elemen utama terbentuknya negara Indonesia.
“Para pendiri bangsa dan masyarakat sudah memahami, perbedaan yang sangat besar berpotensi menjadi gesekan yang mengancam kebhinekaan Indonesia. Sayangnya, di era kekinian, terutama pasca-reformasi, gesekan karena isu SARA selalu terjadi saat momen Pemilu atau Pilpres. Ini menjadi pertanyaan, apakah sistem Pemilu dan Pilpres memperuncing gesekan isu SARA,” ujar Tamliha dalam diskusi bertajuk “Isu SARA dalam Pilpres Hancurkan Kebhinekaan”, di Ruang Wartawan, Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin lusa.
Tamliha tak memungkiri, isu SARA memang selalu ada dalam kontestasi politik di berbagai negara. Isu ini juga masih sangat efektif sebagai strategi pemenangan salah satu calon. Termasuk juga dalam Pemilu di Amerika Serikat (AS). Namun, untuk konteks Indonesia, dia berharap, isu tersebut dibuang jauh-jauh.
“Sebagai negara yang multi-etnis, multi-agama dan aliran, Indonesia sangat rawan perpecahan. Isu-isu agama yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama aliran agama, dahulu sudah tidak ada. Namun, isu-isu tersebut berkembang lagi,” sesal dia.
Menurut dia, isu yang marak di tengah situasi Pileg dan Pilpres 2019 bukan didasarkan perbedaan agama, tapi perbedaan aliran agama. Contohnya, media sosial mengidentikan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai orang Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan Prabowo-Sandiaga sebagai Muhammadiyah. “Isu itu kental sekali dalam dukungan kepada calon presiden dan wakil presiden,” cetusnya.
Karena itu, Tamliha berharap, NU dan Muhammadiyah bisa menetralisir perang antaraliran agama ini. Dengan begitu, kontestasi Pilpres maupun Pileg akan diwarnai adu gagasan, ide-ide, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj secara tidak langsung terlibat dalam pertarungan Pilpres. Bahkan memberikan isyarat kalau tidak Ma’ruf Amin, NU tidak akan mendukung Jokowi. Sementara Muhammadiyah didukung Amien Rais, walaupun Ketua Umum Muhammadiyah tidak terang-terangan mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno. Kami berharap, NU maupun Muhammadiyah bisa menetralisir ini,” tandasnya.
Di tempat yang sama, Direktur Riset The Indonesia Institute Yossa Nainggolan memaparkan, isu SARA digunakan sejak lama dalam politik Indonesia. Isu ini terus dikapitalisasi untuk kepentingan politik. Para calon juga sepertinya menikmati isu SARA ini.
“Kenapa isu SARA muncul dan semakin tajam? Karena dimanfaatkan kedua pasangan calon. Di dalamnya ada tindakan diskriminasi, kekerasan dan penganiayaan,” katanya. (rmol/sir