Oleh Arie Arifin
Banjarmasin
Sabtu (28/11/2020) malam
Ini adalah sebagian dari jutaan kebaikan yang lahir dari solidaritas.
Pada akhirnya sejarah mencatat, bangsa ini selamat dari ujian berat, bukan pemerintah saja yang harus bekerja cepat.
Tetapi karena kita menyadari ada solidaritas yang menjadi kita kuat.
Alih-alih selaku pejabat negara, kehidupan Pak Arie bersama keluarga besarnya mungkin tak akan menjadi pameran drama menyedihkan soal memilih mati diam atau mati bergerak.
Namun justru situasi ini menelanjangi beliau dan keluarga besarnya.
Bak oase di tengah padang pasir, Pak Arie memilih mengabaikan ancaman virus, bisa saja virus menjangkitinya dengan mengorbankan sebagian besar waktu untuk mewujudkan perintah Jaksa Agung.
Instruksi itu dalam hal penanganan dan pengawalan anggaran bagi masyarakat kelas bawah yang terimbas wabah Covid-19.
Wabah ini menjadi nilai peningkat jumlah kasus kriminal yang jadi tanggung jawab Pak Arie selaku Kajati Kalsel dalam menegakan supremasi hukum di wilayah hukumnya.
Jauh dari keluarga, mungkin sudah menjadi hal biasa, tetapi jauh dari keluarga dengan berbekal kekhawatiran akan paparan wabah, jelas.menambah beban bapak bercucu 4 ini.
Teknologi video call, menjadi primadona aplikasi komunikasi jarak jauh tersebut sebagai pengobat rindu akan renyahnya senyum tawa para bidadari kecil itu.
Propinsi Kalimantan Selatan sebagai medan pengabdiannya saat itu sepertinya akan menjadi medan terakhir bagi Pak Arie,.kini telah menggenapi seluruh sekenario hidupnya.
Tanggal 1 Desember adalah hari ulang tahun sekaligus hari terakhir baginya sebagai orang nomor satu di Kejati Kalsel ini.
Kata menyerah, jelas tidak ditemukan di bagian manapun dari buku ini, karena Pak Arie tetap akan berjuang pada medan berikutnya.
Sebuah pertempuran menjadi porak poranda diguncang oleh virus bermahkota ini.
Dibawah kepungan virus bermahkota(Under Siege Of The Crown) itu, Pak Arie dan Ibu Ecin berusaha membuat matahari terbenam menjadi indah.
Seindah saat di mana mereka berpelukan penuh peluh di deretan mobil angkutan Kota Cirebon yang pernah mendidik mereka menjadi manusia bernurani.(*)
Sumber: Buku “Arie Arifin In A True Life”