BANJARMASIN, KORANBANJAR.NET – Ketika demokrasi dikatakan membusuk dan tidak terwujud pada sebuah negara yang dipimpin oleh seseorang yang cenderung otoriter atau bahkan bisa disebut diktator, maka rakyat akan turun ke jalan menuntut pemimpin tersebut turun. Aksi rakyat tersebut diekspresikan melalui kekuatan yang dinamakan people power.
Hal itu dikemukakan oleh dosen Fisip Uniska Banjarmasin sekaligus pengamat politik, Muhammad Uhaib As’ad, dalam wawancaranya kepada koranbanjar.net, Kamis (16/5/2019), di Banjarmasin.
“People power ada sebagai dampak demokrasi yang buruk dan berbagai fenomena keculasan yang dipertontonkan selama kontestasi politik dalam Pemilu 2019,” kata Uhaib.
Menurut Uhaib, masyarakat saat ini sudah bosan dan benci melihat praktik-praktik kecurangan yang dipertontonkan Negara. “Mereka tidak memberikan nilai edukasi dalam praktik demokrasi dan berpolitik. Jadi saya melihat people power itu bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tapi sebasgai dampak dari proses demokrasi yang berjalan tidak baik,” ujarnya.
Dia menilai, kontestasi politik pada pemilu 2019, April lalu, merupakan pesta demokrasi yang paling tidak bermartabat dengan mendegradasikan dimensi-dimensi demokrasi itu sendiri melalui banyaknya praktik keculasan.
“Kok banyak menelan korban nyawa. Kemudian banyak kasus terjadi di daerah yang membuat masyarakat tidak lagi percaya terhadap praktik demokrasi itu, sehingga masyarakat mengalami perilaku pembangkangan karena ketidakpercayaan terhadap negara,” paparnya.
Hal itu, dianggap Uhaib merupakan hal yang wajar karena saluran aspirasi demokrasi yang dimiliki Negara telah mengalami kebuntuan. “Maka mereka mengusung suatu kekuatan untuk melawan hegemoni, ketidakbecusan praktik yang dipertontonkan oleh negara selama kontestasi politik,” pungkasnya. (al)