– Warga Riam Kanan Masih Memendam Luka-
SELAMA 44 tahun dari pembangunan Waduk Riam Kanan yang menenggelamkan 9 desa, warga Riam Kanan masih menyimpan luka yang yang masih menganga hingga kini. Bagaimana tidak, Proyek PLTA oleh PLN itu meninggalkan dosa yang teramat banyak jika disebutkan.
Tempat tinggal, mata pencahariaan, ladang, pekuburan orangtua, adalah bagian kecil yang dikorbankan warga Riam Kanan karena proyek besar tersebut. Semula mereka dijanjikan ganti rugi, namun janji memang selalu manis ketika diucapkan, dan pahit ketika diterapkan.
Pengorbanan besar itu kini hanya menjadi kenangan buruk yang selalu menghantui warga jika mengingat kebohongan-kebohongan yang mereka terima.
“Janjinya, rumah diganti rumah, tanah diganti tanah. Jalan antar desa yang akan dibangun, tapi itu hanya tinggal janji,” ucap Syamsuri mengingat “kedurhakaan” Pemerintah kala itu.
Kakek berusia renta dengan tongkat di sisinya itu menyebutkan pembangunan Waduk Riam Kanan dimulai tahun 1958 pada Pemerintahan Presiden Soekarno dan diresmikan tahun 1973 oleh Presiden Soeharto.
Pelan-pelan, air sungai yang dibendung itu meninggi. Sebagian rumah yang tak sempat dibongkar dan dipindahkan mulai terendam, hingga menenggelamkan kenangan hidup bersama keluarga yang kuburnya tak lagi terlihat nisan.
“Kami rindu, tapi ke mana kami harus menuju. Nisan-nisan itu telah ditenggelamkan demi kemaslahatan orang banyak. Sayang, pengorbanan kami dikhianati. Mereka tak mau ganti rugi,” jelas Kakek Syamsuri dengan tatapan tegas di kendur matanya.
Ketua Tim Sebelas Pembebasan Ganti Rugi Lahan Riam Kanan itu mengungkap perjuangannya bersama perwakilan warga Riam Kanan hingga Jakarta. Dari demo di Pemerintah Daerah hingga ke Jakarta itu tak sedikit rintangan yang mereka hadapi.
Leleki tua yang bertekad memperjuangkan hak warganya sampai titik darah penghabisan itu pernah dirayu dengan iming-iming sebuah rumah dan uang berjumlah besar agar dia tak lagi memperjuangkan hak warganya. Namun, dia tetap kokoh memegang amanah yang dipercayakan warga kepadanya. Dengan kemantapan hati itu, dia dan perwakilan warga lainnya berangkat ke Jakarta ditemani Direktur LEKAWASDA (Lembaga Pengawas Daerah) Kalsel, Anang Sya’rani (almarhum) menuntut ganti rugi sebanyak Rp162 miliar untuk 2.700-an jiwa dari 9 desa yang menjadi korban.
“Dalam sidang di Jakarta, kami sudah dimenangkan. Nama pengacaranya Yuso,” ujar Kakek Syamsuri.
Sayang, karena aturan hukum yang dia tak pahami, keputusan sidang berubah. Rp162 miliar yang menjadi harapan seluruh warga korban itu akhirnya tak bisa dibawa pulang. Padahal tanggal pencairan, sudah tertera di surat keputusan. Akhirnya, mereka pulang membawa luka yang masih dipendam.
“Untuk pulang ke kampung halaman saja, kami tak bisa membayar tiket pesawat. Sempat ingin mengamen di bus kota. Namun untung, waktu itu kami bertemu dengan Rudy Ariffin (Gubernur kala itu) yang sedang ada tugas ke Jakarta. Olehnya, kami diberi 800 ribu, cukup menambah uang yang kami punya untuk membeli tiket pulang,” ingatnya.
Kini, Kakek Syamsuri sudah terlalu tua untuk memperjuangkan hak warga tersebut. Namun dia masih berharap, ganti rugi itu akan dibayar. Sebab, itu hak warga Riam Kanan yang telah banyak menderita. Mereka telah menanti lama, tak kurang 44 tahun lamanya.
Terkait dengan ganti rugi itu, Kakek Syamsuri berpesan tegas, “(ganti rugi) Harus dibayar. Orang Islam apabila mati meninggal hutang, jangan dikubur. Hadits itu. PLN itu terutang lawan masyarakat Riam Kanan. Kalau tidak membayar, tunggu kualatnya. Pasti. Sebab, dia meninggalkan dosa.”
Mata kakek Syamsuri berkaca ketika bercerita kembali kenangan masa-masa memperjuangkan ganti rugi tersebut. Meski tak berbuah manis, dia berharap perjuangannya dicatat sebagai amal jariyah.(abn/bersambung)