SEBENTAR lagi malam akan melarutkan senja dengan segala cerita tentang siang hari. Orang-orang pun bersiap menyambutnya dengan cara mereka masing-masing. Sementara aku, justru tersesat di ujung kota yang baru seminggu terakhir ini kudatangi karena tuntutan pekerjaan.
Kucoba berkali-kali menghubungi seseorang yang kutuju melalui ponsel namun tak ada jawaban. Kuputuskan untuk bertanya sekali lagi dan berhenti di depan sebuah rumah kayu berukuran lumayan besar.
Kuperhatikan seorang perempuan penghuni rumah itu sedang duduk di beranda sambil mendekap kedua lututnya menghadap ke samping. Ada isak tangis yang merambat pelan.
Baru saja aku ingin melangkahkan kaki masuk ke halaman rumahnya, tangis perempuan itu pecah dengan sempurna. Ia jambak rambutnya, lalu menendang beberapa pot bunga hingga bergelimpangan.
Aku belum selesai terkejut, saat perempuan itu berdiri dan meraung-raung, tak lama kemudian tubuhnya seperti kerupuk yang terkena siraman air, badannya meliuk dan ambruk.
Refleks aku berlari untuk memastikan perempuan itu baik-baik saja. Dalam keadaan mata terpejam, mulut perempuan itu mengeluarkan busa.
“Tolonnng..,” ucapnya lemas dengan napas tersenggal, lalu pingsan.
Seumur hidupku, inilah pertama kalinya mengalami kepanikan karena melihat perempuan itu tak berhenti mengeluarkan busa dari mulutnya.
“Jangan mati, bertahanlah,” hanya itu yang bisa kupikirkan sambil memangku kepalanya dengan kakiku. Kubersihkan busa di mulutnya dengan pakaianku lalu menggedor dinding kayu rumahnya.
Setelah cukup menunggu, ketika tak seorang pun menjawab, kubopong perempuan itu masuk ke dalam rumah. Kulepaskan jaket untuk menyelimuti perempuan itu. Aku sudah tidak bisa berpikir panjang lagi bahwa sedang berada di dalam rumah seorang perempuan yang tak kukenal.
Aku pergi ke dapur, mengambil air hangat dan menuangnya ke dalam gelas dan baskom. Aku bahkan tak sadar telah memporak porandakan isi dapurnya untuk sekadar mencari bawang merah.
Hanya mengandalkan naluri, kucelupkan kain seadanya yang bisa kudapat ke dalam baskom berisi air hangat lalu mengusapkan ke wajahnya. Terakhir, kukoyak bawang merah dengan kuku jempolku lalu mengusapkan ke bagian hidung.
Tak ada yang bisa kulakukan lagi selain berdoa sambil memijit kepala dan kening perempuan itu. Satu hal yang tak lagi membuatku panik ketika mulut perempuan itu tak lagi mengeluarkan busa. Ia masih bernapas.
***