BANJARMASIN, koranbanjar.net – Mengamati perkembangan dinamika politik lokal di Kalimantan Selatan, hingga saat ini belum ada “penantang” incumbent (Petahana) yang mendeklarasikan dirinya secara resmi.
Bagaimana dengan Denny Indrayana?
Pakar Ilmu Politik dan Ekonomi, Dr Muhammad Uhaib Asad kepada koranbanjar.net mengatakan bahwa kalaupun Prof Dr. Denny Indrayana yang ingin maju sebagai petarung melawan incumbent, ia hanya berikhtiar, ucapnya, Jum’at (25/10/2019) saat berada di rumahnya, Jalan Sultan Adam, Komplek Mandiri Permai Banjarmasin.
Analisanya, Denny saat ini sedang melakukan lobi politik di tingkat pusat, mendekati partai politik yang dianggap dapat berkolaborasi dengannya untuk mendapatkan dukungan ikut di kontestasi politik gubernur Kalsel.
“Tetapi itupun baru usaha, finalnya kita belum mengetahui apakah partai politik tersebut betul-betul mendukung atau tidak, tentunya tergantung komunikasi yang dijalankan Indrayana, baik terhadap Partai Gerinda, Demokrat atau partai-partai lainnya,” paparnya.
Sepinya hiruk pikuk perpolitikan mengenai siapa yang menjadi penantang petahana di Kalimantan Selatan, sampai saat ini masih belum kelihatan, semua masih “tiarap”.
Ada beberapa alasan mengapa tokoh-tokoh politik tidak mendeklarasikan dirinya sebagai penantang Incumbent. Lanjut Uhaib, disebabkan faktor ongkos demokrasi yang sangat mahal, tentunya para calon ini akan berhitung ulang.
“Kalau cuma setengah-setengah atau sekadar berspekulasi tampil sebagai kandidat, maka bisa dikatakan ini pecundang, karena kita tahu semua, di belakang incumbent ini orang yang memilki modal kuat baik secara birokrasi maupun dari sisi finansial yang mengendalikan kekuatan Incumbent ini,” jelasnya yang dimaksud adalah Haji Isam pengusaha batubara ternama di Kalsel.
Ini persoalan cost politik, orang tidak lagi mencalonkan diri secara terbuka, ada semacam malu-malu untuk tampil mendeklarasikan diri.
Di samping itu, partai politik bukan cuma memberikan “perahu” dalam bertarung, tetapi sebesar mana partai itu memberikan dukungan.
“Semakin banyak suaranya di DPR maka semakin tinggi nilai jualnya, kita tidak bisa memungkiri mahar dalam partai politik itu tetap ada,” cetusnya.
Hal inilah yang membuat orang-orang alergi bahkan dianggap tidak menarik sehingga mengurungkan diri untuk menjadi bakal calon gubernur, karena terkait kekuatan finansial.
Kemudian, masih ujar dosen senior Uniska Banjarmasin ini, orang tidak melihat incumbent, tetapi melihat siapa yang berada di belakang kekuatan Politisi Golkar ini.
“Ada variabel lain, tentunya siapa yang berada di belakang kekuasaan ini, dan ini menjadi momok sebagian atau orang-orang yang ingin mencalonkan diri, ada semacam bayang-bayang ketakutan terhadap orang-orang yang berada di belakang paman, ketakutan dalam artian terkait dana dan birokrasi yang dimiliki oleh penguasa lokal yang mendukungnya,” paparnya.
Ini yang membuat isu Pilkada di Kalsel menjadi tidak menarik, jika memang yang terjadi ini adalah fakta, maka tidak menutup kemungkinan calon petahana tidak memiliki rivalitas.
“Jika hal ini terjadi, kemungkinan besar incumbent akan melawan kotak kosong,” pungkasnya.(yon)