Mesin tua itu masih menyala setiap pagi. L300 keluaran lama, catnya mulai pudar, joknya tak lagi empuk, tapi semangat sopirnya masih utuh meski di tengah rute hidup yang makin sempit dan sunyi.
Oleh: Leon Rahman/Koranbanjar.net
Senin pagi itu, sekitar 20 sopir angkutan Banua 6 datang ke Kantor Terminal Dishub Provinsi Kalimantan Selatan. Bukan membawa kemarahan, bukan pula spanduk dan teriakan. Yang mereka bawa cuma satu: harapan agar negara kembali melihat mereka, bukan sebagai bayang-bayang jalanan, tapi sebagai bagian dari sistem yang sah.
“Kami ini bukan preman, kami ini pekerja. Tapi makin lama kami merasa tak dianggap,” ucap Fahmi, juru bicara Aliansi Sopir Sabanua Anam, dengan mata yang menyimpan letih bertahun-tahun.
Lelah Menjadi Tak Terlihat
Dulu, L300 mereka adalah raja jalanan. Penumpang berebut, ongkos cukup untuk makan dan menabung. Tapi waktu berubah. Aturan berubah dan mereka tertinggal.
“Legalitas kami mati. Kami dulu bagian dari Dishub, tapi sekarang serasa anak tiri. Aturan-aturan baru muncul, tapi kami tak pernah diajak bicara,” katanya.
Lebih menyakitkan, mereka harus bersaing dengan ribuan taksi liar yang tak terdata, tak membayar pajak, tapi bebas melaju di jalur yang sama.
“Pendapatan kami anjlok. Dulu bisa lima ratus ribu bersih sehari, sekarang 100 ribu aja susah. Gak cukup buat bayar bensin, makan, dan anak sekolah,” tambah Fahmi dengan suara nyaris berbisik.

Mengetuk Pintu, Bukan Menggedor
Namun di balik keresahan itu, mereka tak datang membawa amarah. Mereka datang mengetuk pintu ruang Kasi Angkutan Dishub, Farid dan pintu itu, syukurnya, dibuka.
Farid menyambut mereka hangat. Ia menjelaskan prosedur yang mesti ditempuh, bentuk koperasi, urus KIR, pastikan kendaraan laik jalan, dan lengkapi kartu pengawasan. Setelah itu, baru mereka boleh kembali mengangkut penumpang secara resmi.
“Saya mengapresiasi niat mereka. Ini langkah bagus. Mereka ingin legal, itu semestinya didukung,” ujar Farid.
Namun proses itu tentu tak mudah. Untuk mereka yang bahkan berjuang tiap hari sekadar bertahan, kata “koperasi” dan “legalitas” mungkin terdengar rumit. Tapi mereka siap mencoba.
Antara Jalan dan Harapan
“Kami bukan anti aturan. Kami cuma ingin dilibatkan, diberi arahan, bukan dibuang,” kata Fahmi lagi, kali ini dengan nada lebih mantap.
Ia berharap, dari pertemuan itu, lahir bukan hanya kebijakan, tapi juga pembinaan yang berkelanjutan.
Karena bagi mereka, Dishub bukan sekadar lembaga, tapi satu-satunya “rumah” yang bisa memberi mereka tempat di jalanan yang kian kejam.
Sebelum pamit, Fahmi mewakili semua sopir L300 mengucapkan terima kasih. Bukan basa-basi. Tapi dari lubuk hati yang terlalu lama merasa sunyi.
“Terima kasih sudah mendengar kami hari ini, setidaknya kami tahu, kami belum sepenuhnya hilang,” tutup Fahmi. (*)