Kisah unik dan menarik datang dari seorang pemburu burung asal Desa Sungai Batang, Kecamatan Martapura Barat bernama Gajali Rahman. Ternyata mencari burung di dalam hutan maupun di tengah sawah juga memiliki tantangan tersendiri. Apalagi pencarian burung dilakukan saat semalam suntuk. Meski hasilnya cukup menggiurkan, namun Gajali Rahman pernah menjumpai makhluk dari alam lain, yang dia sebut hantu, saat mencari burung di dalam hutan. Begini kisahnya.
DENNY SETIAWAN, Martapura
Pemburu Burung asal Desa Sungai Batang, Gajali Rahman memulai kisah pengalamannya selama mencari burung di sejumlah tempat. Dia mengawali profesi sebagai pencari burung ini sejak berusia 20 tahun. Kala itu, dia hanya melihat-lihat pengalaman orang lain, kemudian belajar cara mencari burung, hingga bisa melakukan sendiri.
“Asal muasal cuma tertarik melihat kawan, sampai akhirnya mengerjakan sendiri. Selama mencari burung, pernah mencari di banyak tempat, bahkan sampai ke Kapuas Kalimantan Tengah. Jadi tempat yang pernah kudatangi, antara lain, Anjir Batola, Tabunganen, Kapuas, yang paling sering di daerah terdekat dari Martapura seperti Karang Intan dan Cindai Alus,” ucapnya.
Pernah, lanjut Gajali menceritakan, sewaktu dia mencari burung di Kampung Runjat wilayah Kecamatan Karang Intan sekitar tahun 2019, menjumpai hantu. “Waktu itu, aku mencari burung di dalam hutan dengan kawan. Setelah memasang ranjau, kawan pergi sebentar ke tempat lain mencari kebutuhan kami. Tinggal aku sendiri di dalam hutan. Tidak lama kemudian, aku kira kawanku tadi yang datang duduk di sekitar ranjau. Lalu kupanggil-panggil, tidak menyahut,” kisahnya.
Karena tidak menyahut, sambung Jali —panggiran akrabnya, red–, lalu dia mendekati sosok hitam yang kelihatan kotor itu. Lantas, dia mengarahkan mata sentar ke arah wajah sosok tersebut. Tetapi dia selalu memalingkan wajah saat disentar, sambil menghalangi sinar sentar dengan telapak tangan yang agak besar, dengan kuku panjang dan mengerikan.
“Melihat sosok begitu, wah…., ini dalam hatiku bukan manusia, melainkan hantu. Kuku tangannya panjang-panjang, rambutnya panjang ter-urai ke muka, pakaiannya kotor bercampur tanah. Akhirnya, kubacakan ayat-ayat Alquran sambil kutiup ke gumpalan tanah, mau kulempar ke arah sosok itu. Karena dia tidak bergeming, akhirnya aku yang mengalah pergi,” ungkap Jali.
Sementara itu, ditanya soal perlengkapan untuk menangkap burung, Jali menyebutkan, antara lain, ranjau yang dibentangkan, sound atau MP3 menyerupai suara burung untuk memanggil burung.
Kalau dulu, menurut Jali, alatnya dibikin manual saja, seperti bambu menyerupai seruling kecil dan terompet kecil menggunakan balon.
Gajali juga menceritakan pengalaman lain, hasil dari mencari burung, dia pernah memperoleh burung dalam satu malam sebanyak 60 ekor dan paling sedikit 3 ekor. Burung-burung yang terperangkap ranjaunya, antara lain, burung belibis, sintaran dan burak-burak. Kalaun harga variatif, belibis bisa terjual 50 ribu per ekor. Kalau burung sintaran dan burak-burak cuma Rp10.000 per ekor.
“Kalau dahulu waktu awal-awal mencari burung, satu ekor burung sintaran atau burak-burak hanya Rp2.000 per ekor. Sekarang harganya lumayan.
Untuk menjual burung hasil tangkapan, dia cukup menjual di depan rumah. Namun kalau harganya dapat terjual lebih mahal, biasanya ditawarkan kepada kawan-kawan yang berprofesi sebagai pegawai atau karyawan perusahaan.
“Pernah 15 ekor dibeli seharga Rp300.000, itu record bisa menjual lumayan mahal,” tutupnya.(*)