Menambang intan dengan cara tradisional atau disebut mendulang intan menjadi sebuah tradisi yang berlangsung secara turun-temurun di Desa Pumpung, Kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru. Banyak sejarah yang terjadi pada kawasan pendulangan intan yang sangat terkenal di Kota Banjarbaru itu. Antara lain, penemuan Intan Triksakti yang telah meninggalkan sejarah kelam bagi penemunya.
Kawasan pendulangan yang dikenal dengan Objek Wisata Pendulangan Intan tersebut juga menyisakan kisah duka bagi ratusan penambang dan keluarga. Dari tahun 1999 hingga 2019, telah tercatat lokasi pendulangan intan Pumpung telah menewaskan sedikitnya 400 orang karena tertimbun tanah.
Sekarang hiruk pikuk, suara mesin domping yang menderu hingga ramainya aktifitas pendulangan intan di Desa Pumpung sepertinya cuma menjadi kenangan, setelah kawasan itu diterjang banjir cukup lama, sejak November 2020 hingga Febaruari 2021 tadi.
Objek Wisata Pendulangan Intan Desa Pumpung kini sangat sepi, lubang-lubang besar yang selama ini menjadi tempat para pendulang intan mengais rezeki menjadi danau-danau yang cukup luas. Meski masih ada beberapa aktifitas penambangan intan dengan mesin maupun manual, namun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan sebelum kawasan itu dilanda banjir.
Pengusaha Pasir sekaligus Tokoh Masyarakat di Desa Pumpung, Kelurahan Sungai Tiung, Jarkani yang berhasil diwawancarai koranbanjar.net, Kamis, (11/3/2021) menceritakan, para pendulang intan yang biasanya melakukan aktifitas penambangan di lokasi itu sekarang banyak mencari peruntungan di tempat lain.
“Tahun 2005 sampai 2010, itu pas lagi ramai-ramainya pendulangan di sini. Kira-kira jumlah pendulang mencapai ribuan orang. Mereka bukan hanya dari warga di sini, tapi banyak warga yang datang dari luar daerah. Ada yang dari Kalteng, Banjarmasin, Tanah Bumbu dan lain-lain,” ungkap Jarkani.
Kemudian, sambungnya, pada tahun 2019 jumlah pendulang masih cukup banyak, ada puluhan kelompok pendulang intan, dalam satu kelompok rata-rata 7 orang. “Sekarang yang mendulang cuma tersisa dua kelompok, dengan jumlah pekerja sekitar 15 orang,” katanya.
Sebagian besar pendulang intan lainnya kini mencari peruntungan di daerah lain dengan profesi yang sama, sebagian kecil bertahan di Desa Pumpung dengan berbagai profesi baru.
“Sekarang ada yang tulak (berangkat) ke Tarakan, Papua, Batu Licin, semua masih mendulang. Tetapi kebanyakan mendulang emas di daerah lain. Sebagian lainnya tetap di kampung, bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pasir dan macam-macam, pokoknya serabutan,” jelas dia.
Sementara itu, disinggung soal pendulang intan yang telah menjadi korban tanah longsor di Desa Pumpung, Jarkani memperkirakan, sejak tahun 1999 hingga 2019, jumlah korban yang tertimbun sedikitnya sebanyak 400 orang. “Seingat saya, jumlah korban paling sedikit 400 orang, terakhir terjadi tahun 2019, ada dua orang yang tertimbun. Semua data korban ada tercatat di Kelurahan Sungai Tiung,” pungkasnya.(sir)