Taufik Arbain: Indeks Demokrasi Kalsel Kurang Baik Dalam Konteks Realitas

BANJARMASIN, koranbanjar.net – Pakar sekaligus akademisi politik Taufik Arbain menilai indeks demokrasi di Kalsel tidak terlalu membaik dalam konteks realitas.

Pasalnya, menurut Dosen FISIP ULM Banjarmasin ini, hak politik masyarakat Kalsel sekarang ini hanya bermain dalam ranah-ranah prosuderal.

“Orang mau jadi anggota DPR ada jalannya, mau jadi kepala daerah, walikota, gubernur dan bupati ada jalannya. Tapi, itu demokrasi prosuderal,” ujar Taufik Arbain, di sela acara Sosialisasi Indeks Demokrasi Indonesia di Hotel Roditha Banjarmasin, Senin (21/10/2019).

“Sedangkan substansial ada pihak aktor demokrasi yang ketakutannya untuk berkompetetif. Kenapa? karena telah terjadi oligarki kekuasaan,” sambungnya lagi.

Dikatakan, ada tiga hal dinilai dalam indeks demokrasi, pertama berkaitan dengan kebebasan sipil, kedua hak sipil, dan ketiga berkaitan dengan kelembagaan demokrasi.

Ia menerangkan, dalam konteks kebebasan sipil di Kalsel sangat luar biasa, untuk memberikan kritikan saran dan sebagainya kepada pemerintah maupun kepada pimpinan itu tidak terkendala.

Terlebih, menurutnya ketika melihat kawan media cetak, elektronik, media online dan lainnya itu sangat membantu proses demokrasi dan ini sangat berbeda dengan provinsi lain.

“Ketika media sedikit, terjadi proses pembungkaman. Nah banyaknya intensitas demokrasi di Kalsel hari ini saya kira itulah yang mendorong kebebasan berpendapat di Kalsel,” tuturnya.

Menurutnya, beberapa kabupaten/kota telah dikapling-kapling oleh sekelompok orang tertentu, apabila kelompok itu tidak masuk dalam ruang oligarki, maka kekuasaan tersebut tidak akan termasuk dalam trahnya.

Baca juga: Indeks Demokrasi Kalsel Peringkat 7, Kesbangpol Ingin Tingkatkan Lagi

“Itu tadi, jika ia tidak masuk, maka dia sulit menjadi orang dipilih menjadi kepala daerah, dan ini saya kira catatan penting bagi indeks demokrasi,” terangnya.

Kemudian, berkaitan dengan lembaga demokrasi. Hak inisiatif dewan relatif tidak terlalu banyak, padahal apabila dewan mendengarkan masyarakat, kemudian kawan media tentu ia banyak gagasan.

Seperti hal apa harus diinisiasi, untuk membuat produk sebuah regulasi, di sini menurut Arbain, harus menjadi catatan kelembagaan sosial di Kalsel.

“Kelembagaan sosial lain seperti paguyuban, antar ethnik, saya kira mengalami hal yang luar biasa. Mungkin perdebatan di Kalsel ini kalaupun ada berkaitan mungkin hanyalah dokumen berhubungan dengan perda bernuansa syariah. Karena ini persoalan, debattible, di sisi lain kepentingan demi demokrasi, lainnya lagi demi indikator demokrasi,” terangnya.

Ia menjelaskan, selama demokrasi oligarki itu masih ada, barang kali hitungan indeks demokrasi akan bagus, namun demokrasi substansialnya tidak terlalu baik.

“Makanya orang takut untuk maju, makanya kenapa pernah ada satu kali kasus di kalsel pemilihan kepala daerah melawan kotak kosong, karena oligarki, artinya simbol kontra demokrasi,” tandasnya.

Dikatakan, untuk masyarakat Kalsel partisipasi untuk menggunakan hak pilih menurutnya, sangat besar sekali. Tetapi partisipasi untuk memilih itu mereka berfikir seratus kali. (ags/dra).