Oleh: Rafii Syihab
Yunani, beberapa abad sebelum hari ini, pada hari-hari biasa di negeri peradaban itu beberapa orang sedang berbincang di tengah hangat matahari. Kita tidak bisa membuktikan kebenaran bagaimana situasi kala itu. Tetapi bayangkan saja saat itu pagi menjelang siang, cahaya menari-nari, tajam dan bersiku-siku. Jenis cahaya yang membuat kita menaruh perhatian. Setidaknya begitulah yang dikatakan seorang pelancong filosofis, Eric Weiner, dalam bukunya The Geography of Genius.
Bayangkan saja adegan selanjutnya begini; seorang istri, dalam salah satu rumah sedang menyiapkan sarapan pagi untuk keluarganya. Sementara sang suami sedang asik menghitamkan pakaian bahan kulit dengan vitriol.
Vitriol adalah cairan kimia yang belakangan ini disebut asam sulfat. Ia merupakan salah satu air keras tertua yang pernah diketahui manusia. Dalam bahasa Indonesia sehari-hari ia dinamakan ‘cuka para’.
Vladimir Kapenko dan John A Norris dari Charles University di Praha, dalam makalahnya yang diterbitkan tahun 2002 di jurnal Chemistry mengungkapkan, selain untuk penghitam pakaian berbahan kulit, ahli kimia pada masa Sumeria, sebuah peradaban kuno di Mesopotamia, Irak, telah melakukan klasifikasi jenis vitriol menurut warnanya.
American Chemical Society mengungkap, salah satu ilmuan yang berhasil membuat air keras adalah John Roebuck. Fisikawan asal Inggris itu berhasil membuat air keras dengan konsentrasi 45 persen —cara yang ia kembangkan itu kemudian menjadi yang terpopuler hingga abad 19.
Keberhasilan pembuatan senyawa asam membawa kemajuan besar di bidang industri pemutih, pestisida, pupuk, dan lainnya. Namun, seperti kita ketahui, tindakan kriminal yang menggunakan bahan tersebut jamak terjadi di kemudian hari.
Selama bertahun-tahun pasca terciptanya air keras, sudah ada ribuan kasus yang terjadi karenanya. Pada Januari 1916 misalnya, ketika cinta Pangeran Leopold kepada Rybieska tak direstui orangtuanya, wanita tercinta itu akhirnya menyiram Leopold dengan air keras, dan bunuh diri setelahnya.
Jika ditengok ke belakang, aksi penyiraman air keras biasanya dilatarbelakangi dengan berbagai motif —dari rumitnya percintaan, akibat cemburu, hingga konspirasi politik.
Untuk alasan yang terakhir, mari kita memutar waktu ke 2015 menuju negara penghasil cokelat terbesar di dunia; Ghana. Kala itu, tokoh oposisi dari Partai Patriotik Baru Ghana, Adam Mahama, disiram air keras oleh lawan politiknya. Aksi serupa juga dialami Sekretaris Greek Trade Union of Cleaners and Housekeeper, Kostadinka Kuneva, Desember 2009 silam. Dia disiram air keras karena sikapnya yang dinilai cenderung memperjuangkan hak perempuan dan buruh.
Kemudian, ada juga kasus penyiraman air keras terjadi pada Andreas Christopheros, 9 September 2014. Pelakunya adalah David Phillips, seorang dekorator dari East Sussex, Inggris. Andreas Christopheros merasakan kerasnya cuka para karena disangka sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap salah satu keluarga David Phillips. Sebagai ganjaran, Phillips akhirnya ditangkap dan dipenjara semumur hidup.
Baca juga: Datanglah Jika Ingin, Pergilah Selagi Mungkin
Jika Andreas Christopheros bisa disebut sebagai korban salah orang, maka lain lagi kisahnya dengan aksi penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan, April 2017 silam, di Kelapa Gading, Jakarta. Dua oknum polisi yang disebut sebagai ‘tersangka’ pelakunya, RB dan RM, mengaku tak sengaja siraman air keras yang mereka lakukan mengenai mata seorang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Serangan dengan air keras pada Novel itu terjadi di pagi buta. RB dan RM ditangkap pada 2019 lalu.
Di persidangan, terdakwa mengaku aksi penyiraman air keras yang mereka lakukan bermaksud untuk memberi pelajaran kepada korban. Terdakwa menganggap korban telah lupa dengan institusi Polri.
Saat ini proses persidangan terdakwa masih berjalan. Kedua terdakwa dituntut hukuman satu tahun penjara berdasarkan Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1).
Di masa keemasan dunia kuno beberapa abad sebelum hari ini, seorang ilmuan barangkali pernah menendang rempah-rempah dapur, di malam gelap, ketika haus mencekik tenggorokannya. Voila (dan akhirnya, red), begitulah air keras diciptakan secara tidak sengaja. Kakinya melepuh. Ia meyakini kesembuhan tersebab air keras yang tidak sengaja ia ciptakan bisa datang paling lama satu minggu. Ia menunggu dan terus menunggu. Tapi kita tahu, cacat akibat air keras tidak akan pernah hilang —baik di kaki, di mata, atau di ingatan kita semua. (*)