Budayawan bahasa banjar, Noorhalis Majid menyinggung banjir Rob yang melanda di berbagai daerah di Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin dengan istilah “Calap Pasang Dalam Manuju Lamas Sa-alaman”
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Noorhalis Majid menuturkan, tidak ada kosa kata banjir dalam kebudayaan Banjar, yang ada hanya “calap”, yang tinggi airnya tidak lebih semata kaki.
“Kalau pun lebih dari itu yang disebabkan Rob, maka orang Banjar menyebutnya “calap pasang dalam”, dimana saat purnama besar tiba, air sesekali menggenangi lantai dapur atau pekarangan rumah, terutama yang tinggal di pinggir Sungai,” tutur Noorhalis Majid lewat tulisannya, Minggu (19/1/2025) di Banjarmasin.
Sekarang, kata mantan Ketua Ombudsman wilayah Kalsel ini, kondisinya tentu jauh berbeda. Perubahan iklim sangat berdampak bagi Banjarmasin, geografisnya memang di bawah permukaan laut.
Kota ini dibentuk secara alami dari delta-delta yang kemudian menjadi daratan. Sungai, anjir, handil, dan saka, suatu kearifan cerdas pengendali apabila rob datang.
“Rumah-rumah dibangun berbentuk panggung, tidak menghilangkan fungsi rawa dan gambut sebagai resapan air,” ucapnya.
Kemudian lanjutnya, budaya sungai tiba-tiba berubah berorientasi darat. Rawa dan bahkan sungai diuruk, ditinggikan dengan tanah, jadi jalan dan tanah lapang.
Bangunan rumah tidak lagi panggung, namun “balapak” di tanah, karena rawanya ditutupi dengan cor semen. Sungai di belakang rumah, hilang sama sekali menjadi dapur-dapur yang “bersatu padu”.
“Sungai jadi selokan, selokannya dibuat sekedar ada, sahibar proyek tahunan yang tambal sulam,” sentilnya.
Sekalipun tidak ada Perda sungai, Perda rumah panggung dan Perda lainnya, orang Banjar dulu hidup dengan kebudayaan sungai, sehingga sangat paham soal rob, soal calap pasang dalam, soal fungsi rawa, gambut, anjir, handil dan saka.
“Dengan kearifan itu, tidak pernah panik menghadapi air, sebab kebudayaannya memang berbasis sungai,” ujarnya.
Sekarang, ketika semua orientasi menjadi “darat”, termasuk orientasi Pemko dalam membangun kota sangat berorientasi darat. Maka, jangan salahkan bila setiap tahun panik menghadapi rob “calap pasang dalam”.
Kalau orientasi darat diteruskan, maka tidak mustahil sebagai mana perkiraan banyak pakar, 2050 Banjarmasin tenggelam.
Tidak ada pilihan, kecuali Pemko mengalihkan orientasinya kembali kepada sungai, sebagaimana kebudayaan Banjar mengajarkan banyak hal tentang itu.
Mulai dengan menggiatkan kembali normalisasi sungai, mendisiplinkan Perda rumah panggung. Dimulai dari rumah dinas Wali Kota, meminta restu pemerintah pusat agar Dinas Sungai dibolehkan, sebab Banjarmasin kota unik, letaknya di bawah permukaan laut.
“Oleh karena itu sangat membutuhkan satu institusi yang khusus menangani kelestarian sungai, agar kada “lamas sa-alaman”, harapnya. (yon/bay)