Awal tahun 2005 menjadi kenangan yang tidak terlupakan saat berjumpa langsung dengan Ulama Besar asal Kota Martapura Kalimantan Selatan, Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Guru Sekumpul. Kala itu, Abah Guru Sekumpul masih dalam kondisi sakit-sakitan, pengajian rutin di Musala Ar Raudhah Sekumpul pun diliburkan. Ada beberapa “wasiat” yang dia tunjukkan secara langsung dalam perbuatan selama perjumpaan singkat itu, dan tentunya menjadi ilmu yang sangat berharga untuk dapat dibagikan kepada siapapun.
DENNY SETIAWAN, Martapura

Malam di awal tahun 2005, sekitar pukul 20.00 wita, suasana lingkungan Komplek Ar Raudhah tampak sunyi, karena beberapa bulan pengajian rutin memang sedang diliburkan. Abah Guru Sekumpul masih dalam kondisi sakit-sakitan, dia rutin harus menjalani perawatan cuci darah.
Penulis tiba di depan kediaman Abah Guru Sekumpul, tengah ditunggu keponakan Abah Guru Sekumpul yang bernama H Ahmad. Dia langsung mengajak penulis berjalan ke samping rumah, kemudian memasuki kediaman Abah Guru Sekumpul melalui pintu belakang. Suasana rumah sangat hening, penulis yang datang bersama seorang warga sekitar langsung diajak menuju salah satu kamar di rumah itu.
Sungguh kenangan yang sangat indah sekaligus mengharukan, sebelum memasuki kamar yang ternyata merupakan kamar tidur Abah Guru Sekumpul, ternyata pintu kamar sudah dibuka. Lantas H Ahmad mengetuk pintu kamar, seraya mengatakan, “Bah…, tamunya sudah datang.” Abah Guru Sekumpul, langsung menjawab, “ Masuk…masuk,” kata ulama kharimastik ini.
Abah Guru Sekumpul tampak duduk di atas ranjang dengan posisi bersila, sambil memeluk satu bantal tidur. Kemudian Abah Guru Sekumpul mempersilakan kami masuk dan duduk. “ Masuk nang…, julak masuk (sebutan Abah Guru Sekumpul terhadap warga yang menyertai penulis). Silakan pian duduk lah, ulun minta ampun dan minta ridho kada kawa mengawani (tidak bisa menemani) pian duduk di bawah, karena kesehatan ulun tidak memungkinkan,” kata Abah Guru Sekumpul.
Dengan langkah pelan, sambil membungkukkan badan, kami pun duduk di atas karpet yang cukup tebal. “Ambilkan makanan nang,” ucap Abah Guru Sekumpul kembali meminta H Ahmad. Selang tidak begitu lama, makanan laksa (makanan ciri khas Martapura) disajikan. ”Abah minta jua sepiring nak lah….,” kata Abah Guru Sekumpul kembali meminta kepada H Ahmad.
H Ahmad kembali membawakan satu piring berisi tiga potong laksa untuk Abah Guru Sekumpul. Lalu, kami dipersilakan menyantap hidangan yang disajikan. Sementara itu, Abah Guru Sekumpul mengambil ponsel, kemudian menelepon dokter pribadi beliau. “Dokter, boleh kah abah makan laksa?” tanya Abah Guru Sekumpul. Suara dari telepon itu pun menjawab, “Boleh aja bah, tetapi kuah santannya jangan terlalu banyak,” sahut dari suara telepon.
“Ham julak, kada kawa sabarataan Allah Ta’ala, cukupkan syariatnya. Dokter kan ahli kesehatan, betakun dulu dengan ahlinya, ulun ini kan garing. (bertanya dengan ahlinya, saya ini kan sakit),” ucap Abah Guru Sekumpul memberitahu kepada warga yang bersama penulis.
Setelah menyantap hidangan itu, kami berdua terlibat perbincangan banyak hal dengan Abah Guru Sekumpul. Di tengah kami berbincang, tiba-tiba muncul kedua putra Abah Guru Sekumpul yakni, Muhammad Amin Badali dan Muhammad Hafi Badali yang kala itu masih kecil. Keduanya, mencium tangah Abah Guru Sekumpul, setelahnya berbalik arah menuju ke luar kamar. “Ham…, setiap malam itu julak ai, Amin dan Hafi mencium tangan dulu lawan abahnya sebelum guring,” kata Abah Guru Sekumpul.
Tidak sampai di situ, Abah Guru Sekumpul juga menyampaikan, “Ulun ini numpang aja di rumah ini, nang ampun rumah ini Amin lawan Hafi, ulun kada punya apa-apa,” ujar Abah Guru Sekumpul menyebut kedua putranya.
Tidak terasa perjumpaan kami dengan Abah Guru Sekumpul berlangsung selama sekitar dua jam, mulai pukul 20.00 hingga 22.00 wita. Sebelum kami pamit dari kediaman Abah Guru Sekumpul, dia kembali menunjukkan bahwa adab itu lebih mulia dan tidak membeda-bedakan dengan siapapun. “Setumat lagi ada tukang urut datang julak ai, ulun menunggu sidin lagi,” kata Abah Guru Sekumpul sambil membuka lemari kecil di samping ranjangnya dan mengambil sejumlah uang yang dipersiapkan untuk tukang urut (tukang pijit).
Dari perjumpaan itu penulis menyimpulkan, sungguh adab yang “diajarkan” Abah Guru Sekumpul selama perjumpaan itu sangat indah sekali. Mulai menyambut kami, meski dalam kondisi sakit tetap menghormati tamu yang datang, mengajarkan adab antara anak dan orangtua hingga bersiap-siap menyambut tamu seorang tukang urut. Selain itu meminta izin kepada dokter pribadi tatkala ingin menyantap makanan.
Sesungguhnya masih banyak pelajaran yang sempat disampaikan Abah Guru Sekumpul kala itu, namun tidak semua yang bisa diungkap melalui tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah kecintaan kita kepada seorang wali Allah, Abah Guru Sekumpul. Aaamiiin. (*)