Sepekan lagi jabatan kepala daerah tak terkecuali Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina akan berakhir, digantikan kepala daerah terpilih hasil Pemilu 2024.
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Tokoh kritis Ambin Demokrasi, Noorhalis Majid, Sabtu (15/2/2025) di Banjarmasin menbeberkan, banyak kepala daerah yang memasuki akhir jabatan. Namun, kotanya justru dikepung sampah.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), terdapat 306 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia yang ditutup, salah satu yang ikut ditutup TPA Basirih Banjarmasin.
“Padahal, di TPA tersebut menampung tidak kurang lima ratus ton sampah diantar setiap hari. Karena ditutup, tumpukan sampah mengepung kota. Di sejumlah TPS dan pasar, bahkan sudah menggunung,” ungkapnya.
Perlu diketahui, timbunan sampah nasional mencapai 31,9 juta ton perhari, termasuk 500 ton kontribusi sampah warga Banjarmasin. 24 persen tidak terkelola, hanya 7 persen yang didaur ulang. Sisanya 69 persen berakhir ditumpuk di TPA.
“Ketika TPA ditutup, menumpuk di TPS, tong sampah, bahkan di segala tempat, termasuk rumah kosong, tanah kosong, tepi jalan dan sungai,” sebutnya.
Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), jenis sampah terbanyak adalah organik, sebanyak 60 persen, mestinya dapat diselesaikan di rumah tangga masing-masing, menjadi kompos dan lain sebagainya.
Sayang sedikit yang mau mengelolanya. Sampah plastik 14 persen, kertas 9 persen, metal 4,3 persen dan bahan lainnya 12,7 persen.
“Jenis ini dapat diaur ulang sehingga bisa dimanfaatkan kembali, tapi lagi-lagi kurang serius ditangani,” ujar mantan Kepala Ombudsman Kalsel ini.
Apa hebatnya kota yang dikepung sampah? Selain memberi gambaran tentang tata kelola pemerintah, kepemimpinan, dan kualitas hidup warga kota.
Mengelola sampah, bagian dari mengelola pelayanan publik. Bukankah tugas utama pemerintahan yang dipimpin kepala daerah, menyelenggarakan pelayanan publik?
Ketika sampah tidak terkelola dengan baik, berarti satu tugas pelayanan publik yang sangat penting dan mendasar, tidak mampu dilaksanakan dengan baik.
Tidak mudah bagi kepala daerah berikutnya menjawab tantangan ini. Apalagi ketika kondisi anggaran yang sudah defisit, dipaksa pula untuk efisien.
Pasti membatasi segala inovasi agar masalah yang terlanjur disebut “sampah”, mampu diubah menjadi potensi. (yon/bay)