Hubungan Suku Dayak dan Suku Banjar, Bermula Keturunan Kakak Beradik yang Cerdas dan Jago Berkelahi

Suku Dayak dan Suku Banjar. (foto: Warisan Budaya Nusantara/Suara Bamega Online)
Suku Dayak dan Suku Banjar. (foto: Warisan Budaya Nusantara/Suara Bamega Online)

Mitologi suku Dayak Meratus atau Suku Dayak Bukit menyatakan bahwa, Suku Banjar dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik. Suku Dayak bermula dari keturunan sang kakak, Si Ayuh alias Datung Ayuh alias Dayuhan alias Sandayuhan yang menurunkan suku Bukit. Sedangkan sang adik bernama Bambang Siwara alias Bambang Basiwara yang menurunkan suku Banjar.

Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui, bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus.

Dalam cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tetapi berotak cerdas. Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan jago berkelahi.

Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal usul dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang berhasil dikalahkan Sandayuhan dalam suatu kontak fisik.

Suku Dayak Meratus adalah nama kolektif untuk sekumpulan sub-suku Dayak yang mendiami sepanjang kawasan pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Orang Banjar Kuala menyebut suku Dayak Meratus sebagai Urang Biaju (Dayak Biaju) karena dianggap sama dengan Dayak Ngaju (Biaju), sedangkan orang Banjar Hulu Sungai menyebut suku Dayak Meratus dengan sebutan Urang Bukit (Dayak Bukit/Buguet) Selato menduga, suku Bukit termasuk golongan Suku Punan.

Tetapi Tjilik Riwut membaginya ke dalam kelompok-kelompok kecil seperti Dayak Alai, Dayak Amandit (Loksado), Dayak Tapin (Harakit), Dayak Kayu Tangi, dan lainnya. Selanjutnya ia menggolongkan ke dalam Rumpun Ngaju.

Namun penelitian terakhir dari segi liguistik, bahasa yang digunakan sub suku Dayak ini tergolong berbahasa Melayik, jadi serumpun dengan Suku Kedayan, Dayak Kendayan dan Dayak Iban.

Sesuai habitat kediamannya tersebut maka belakangan ini mereka lebih senang disebut Suku Dayak Meratus, daripada nama sebelumnya Dayak Bukit yang sudah telanjur dimaknai sebagai orang gunung.

Padahal menurut Hairus Salim dari kosakata lokal di daerah tersebut istilah bukit berarti bagian bawah dari suatu pohon yang juga bermakna orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya.

Suku Buket, nama yang dipakai BPS untuk etnik ini dalam sensus penduduk tahun 2000. Di Kalimantan Selatan pada sensus penduduk tahun 2000 suku Buket berjumlah 35.838 jiwa, sebagian besar daripadanya terdapat di kabupaten Kotabaru yang berjumlah 14.508 jiwa.

Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada Kabupaten Banjar, Kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kotabaru.

Beberapa Suku Dayak Meratus

Dayak Pitap, di desa Dayak Pitap dan sekitarnya. Dayak Alai terdiri atas Dayak Labuhan, Dayak Atiran, Dayak Kiyu mendiami desa Hinas Kiri,Dayak Juhu, Dayak Hantakan (Dayak Bukit), di desa Haruyan Dayak, Dayak Labuan Amas

Dayak Loksado (Dayak Amandit) di kecamatan Loksado.

Kemudian, Dayak Harakit (Dayak Tapin), di desa Harakit dan sekitarnya. Dayak Paramasan, di kecamatan Paramasan, Kabupaten Banjar. Dayak Kayu Tangi (mendiami kawasan Riam Kanan sebelum dijadikan waduk), Dayak Bangkalaan, di desa Bangkalan Dayak, Dayak Sampanahan di kecamatan Sampanahan, Kotabaru.

Berikutnya, Dayak Riam Adungan di desa Riam Adungan, Dayak Bajuin di desa Bajuin, Dayak Sebamban Baru dan lain-lain.

Rumah ritual adat (aruh) Dayak Meratus disebut balai. Istilah balai juga masih dilestarikan Dayak Meratus yang masuk Islam/Banjar Hulu Sungai untuk menyebut surau/langgar (lebih tepat Balai Islam).

Suku dayak (foto: Babe)
Suku dayak (foto: Babe)

Orang Dayak Pitap di Kabupaten Balangan

Orang Dayak Pitap adalah Masyarakat Adat Dayak yang biasanya dikategorikan sebagai bagian dari suku Dayak Meratus/suku Dayak Bukit yang mendiami kecamatan Tebing Tinggi, Balangan, Kalimantan Selatan.

Dayak Pitap merupakan sebutan bagi kelompok masyarakat yang terikat secara keturunan dan aturan adat, mendiami kawasan di sekitar hulu-hulu sungai Pitap dan anak sungai lainnya. Sungai Pitap itu sendiri awalnya bernama Sungai Kitab.

Menurut keyakinan mereka, di tanah merekalah turunnya kitab yang menjadi jadi rebutan. Oleh datu mereka supaya ajaran kitab tersebut selalu ada maka kitab tersebut ditelan/dimakan atau dalam istilah mereka dipitapkan, sehingga ajaran agama mereka akan selalu ada di hati dan ada di akal pikiran.

Kata kitab pun akhirnya berubah menjadi pitap sehingga nama sungai dan masyarakat yang tinggal kawasan tersebut berubah menjadi Pitap.

Sedangkan sebutan dayak ini mengacu pada kesukuan mereka. Oleh beberapa literatur mereka dimasukkan kedalam rumpun Dayak Bukit, namun pada kenyataanya mereka lebih senang disebut sebagai orang Pitap atau Dayak Pitap, ini juga terjadi pada daerah-daerah lain di Meratus.

Para leluhur masyarakat Dayak Pitap mula-mula tinggal di daerah Tanah Hidup, yaitu daerah perbatasan antara Kabupaten Balangan dengan Kabupaten Kotabaru (dipuncak pegunungan Meratus). Tanah hidup menjadi wilayah tanah keramat yang diyakini sebagai daerah asal mula leluhur mereka hidup.

Secara administratif, orang Dayak Pitap berada di 3 Desa yaitu Dayak Pitap, Langkap dan Mayanau pada Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan.

Semula merupakan satu Dayak Pitap memiliki pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada di Langkap. Dengan adanya peraturan sistem pemerintahan desa pada tahun 1979 dibentuk pemerintahan desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan waktu itu berada di Langkap.

Dayak Pitap terbagi terdiri dari 5 kampung besar yaitu Langkap, Iyam, Ajung, Panikin, Kambiyain.

Kemudian tahun 1982 wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi 5 desa, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 2/tahun 1980 tentang pedoman pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan kelurahan dan peraturan menteri dalam negeri no 4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa.

Selanjutnya berdasarkan SK Camat tahun 1993 kampung Ajung digabung ke Iyam. Tahun 1998 kampung Iyam dan kampung Kambiyain digabungkan jadi satu dengan kampung Ajung dengan pusat pemerintahan di Ajung Hilir.

Menurut Cilik Riwut, Suku Dayak Bukit merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju.

Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.

Silsilah Suku Bukit

Suku Dayak (suku asal), terbagi 5 suku besar / rumpun:

Dayak Laut (Iban), Dayak Darat, Dayak Apo Kayan / Kenyah-Bahau, Dayak Murut dan Dayak Ngaju / Ot Danum. Dayak Ngaju terbagi 4 suku kecil ; Dayak Maanyan, Dayak Lawangan, Dayak Dusun.

Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan (sedatuk); Dayak Bukit, Dayak Bakumpai, Dayak Berangas, Dayak Mendawai dan lain-lain.

Budaya Bukit

Suku ini dapat digolongkan sebagai suku Dayak, karena mereka teguh memegang kepercayaan atau religi suku mereka. Akan tetapi religi suku ini, agak berbeda dengan suku Dayak di Kalimantan Tengah (Rumpun Dayak Ngaju atau Rumpun Barito), yang banyak menekankan ritual upacara kematian dalam agama Kaharingan. Salah satu Suku Dayak di Kalimantan Selatan yang juga banyak menekankan ritual upacara kematian adalah Suku Dayak Dusun Deyah.

Sedangkan kepercayaan suku Meratus biasanya disebut agama Balian yang lebih menekankan upacara dalam kehidupan, seperti upacara pada proses penanaman padi atau panen, sebagaimana halnya dengan suku Kanayatan yang melakukan upacara pesta panen Naik Dango di Kalimantan Barat. Suku Dayak Bukit juga tidak mengenal tradisi ngayau yang ada zaman dahulu pada kebanyakan suku Dayak.

Upacara ritual suku Dayak Bukit, misalnya “Aruh Bawanang” yang disebut juga Aruh Ganal. Tarian ritual misalnya tari Babangsai untuk wanita dan tari Kanjar untuk pria. Suku Bukit tinggal di dalam rumah bersama yang dinamakan balai yang lebih tepat berfungsi sebagai rumah ritual adat. Istilah balai juga masih dipakai suku Banjar Hulu yang tinggal di pedalaman untuk menyebut surau/langgar, karena kesamaannya sebagai tempat ibadah/ritual.

Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, “memusat” karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang berbentuk panjang (Rumah Panjang).

Suku Dayak Bukit menganal tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat tinggal yaitu; Siasia Banua, Bubuhan Aing, Kariau, Siasia Banua contohnya:

Siasia Banua Kambat, Siasia Banua Pantai Batung, Siasia Banua Kambat

dan sebagainya. Bubuhan Aing = komunitas air contohnya; Bubuhan Aing Muhara Indan, Bubuhan Aing Danau Bacaramin, Bubuhan Aing Maantas, dan sebagainya

Kariau contohnya; Kariau Labuhan, Kariau Padang Batung, Kariau Mantuil, dan sebagainya.

Bahasa Melayu Bukit

Bahasa Dayak Bukit, menurut penelitian banyak kemiripan dengan dialek Bahasa Banjar Hulu. Ada pula yang menamakan bahasa Bukit sebagai “bahasa Banjar archais”. Bahasa Bukit termasuk Bahasa Melayu Lokal yang disebut Bahasa Melayu Bukit (bvu).

Perbandingan hubungan suku Bukit dengan suku Banjar, seperti hubungan suku Baduy dengan suku Banten. Suku Banjar dan suku Banten merupakan suku yang hampir seluruhnya memeluk Islam, sedangkan suku Bukit dan suku Baduy merupakan suku yang teguh mempertahankan religi sukunya.

Populasi Suku Bangsa Dayak Bukit

Populasi suku Dayak Bukit di Provinsi Kalimantan Selatan: 35.838 (BPS – sensus th. 2000). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan berjumlah 35.838 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu:

Sebanyak 585 jiwa di kabupaten Tanah Laut, 14.508 jiwa di kabupaten Kotabaru (termasuk Tanah Bumbu), 1.737 jiwa di kabupaten Banjar, 836 jiwa di kabupaten Barito Kuala, 112 jiwa di kabupaten Tapin, 3.778 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan, 3.368 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah, 244 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (beserta Balangan sebelum pemekaran daerah), 1.106 jiwa di kabupaten Tabalong, 7.836 jiwa di kota Banjarmasin dan 1.728 jiwa di kota Banjarbaru.(sumber: wikipedia.org)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *