Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Drs Taufik Arbain MSi menilai polemik terkait perpindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru ditinjau dalam perspektif kebijakan publik, sebenarnya hanya terkait aspek input, proces dan output.
BANJARMASIN,koranbanjar.net – Tataran input sebagai ruang persiapan formulasi kebijakan, papar Taufik, barangkali kurang mendalam, apakah partisipasi publik, peran aktor yang berkepentingan atau pun para pakar yang diundang dalam mendalami RUU saat itu.
Tersiar di media bahwa ada usaha pergantian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang dianggap sudah kadaluawarsa dan berpijak pada konstitusi Republik Indonesia Serikat, dimana dibutuhkan Undang -Undang baru sebagai legal standing kedudukan Provinsi-Provinsi dimaksud.
“Lalu, terkait dengan adanya pasal ketika Ibukota Provinsi Kalsel berkedudukan Banjarmasin kemudian dipindah ke Kota Banjarbaru, justru seingat saya tidak ada berdengung bahkan di media massa, sementara aspek perpindahan inilah yang menjadi polemik dan melahirkan pro dan kontra. Mengapa yang tak terdengung itu justru muncul?,” heran dia.
Saya, ungkap dia, berpendapat bahwa pada tataran input barangkali masih kurang mandalam terkait pemikiran pakar tentang apa tujuan dan filosofis dari usaha pergantian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956, apakah hanya memba Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 has soal perubahan UU atau normative saja? Aspek sosiologis? Aspek regional development, sosial kultural dan kesejarahan, geografis -demografis atau aspek spasial tidak tereksplore dengan baik?
“Inilah saya kira tatkala diskusi dan seminar terkait pergantian Undang-undang ini tidak melihat ragam perspektif ini pada bulan September 2021 lalu,” katanya, Rabu (23/2/2022) di Banjarmasin.
Memang pergantian ibukota Provinsi dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru memiliki implikasi luas baik aspek kesejarahan, aspek morfologis Kawasan, maupun aspek pembangunan. Aspek kesejarahan tentu saja ini terkait soal kesejarahan di ibukota di masa Kesultanan Banjar, Kolonial Belanda hingga NKRI Tahun 2021.
Sedangkan aspek morfologis Kawasan terkait pemanfaatan dan daya dukung lahan dari implikasi pembangunan. Paling gampang saja misalnya bahwa setiap Kantor Partai Palitik Provinsi harus berkedudukan di Ibukota Provinsi, ini akan terjadi mobilisasi besar-besaran kantor partai di Kota Banjarbaru.
Namun harus diingat, kata Pengamat Kebijakan Publik Universitas Lambung Mangkurat ini, baik Kota Banjarmasin, Banjarbaru dan sekitarnya memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk kisaran 1,5 – 2 % yang artinya akan terjadi pola sebaran pemanfaatan lahan seperti sarang laba-laba, termasuk Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar.
Maka dari itu saya kira pindah atau tidak ibukota, implikasi dari demografis dan pembangunan keniscayaan akan terjadi pola demikian. Kota Banjarbaru dan Kota Banjarmasin tetap menjadi magnet-magnet pembangunan (primary city) dengan pola tersendiri.
Disinilah justru integrasi perencanaan pembangunan dan antar Kawasan Banjarbakula itu penting bersama Pemerintah Provinsi, apalagi dengan kehadiran Pemekaran Kabupaten Gambut Raya sebagai kawasan penopang dua primary city ini.
Desain pembangunan ini harus terintegrasi dan tentu saja dikaitkan Provinsi Kalsel sebagai pintu gerbang IKN.
Maka wajar jika ada kalangan di Banua ini terkait input dan proses pergantian UU tersebut melakukan komparasi dengan Undang-undang Provinsi Bali yang memiliki usaha yang sama jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan UU Provinsi Kalsel baik aspek otonomi, isu pembagian urusan pemerintahan, daya saing daerah, bahkan terkait asas dan tata adat Bali dan pelestarian kebudayaan.
Hal ini wajar karena masyarakat dan elit aktor di Provinsi Bali jauh-jauh hari sudah melek terhadap perubahan Undang-undang tersebut apalagi sejak ramainya kebijakan Desentralisasi Asimetris atau yang kita kenal dengan Otonomi Khusus, mereka mempersiapkan.
“Menurut saya mendalamnya konten Undang-Undang Provinsi Bali saat ini justru bisa menjadi pintu masuk pada ekspektasi menuju usulan Otonomi Khusus Provinsi Bali dengan sebutan Keistimewaan karena implikasinya diikuti dengan perangkat kebijakan lainnya termasuk anggaran pembangunan khusus,” sebut Taufik Arbain.
Datu Cendekia Hikmadiraja Kesultanan Banjar ini mengatakan, usulan disertasi dia tahun 2012 di Program Doktor UGM terkait soal Kebijakan Desentralisasi Asimetris Kalimantan, tetapi tidak diperkenankan oleh para dosen penguju usulan disertasi.
“Waktu itu saya menganggap ada syarat-syarat yang memungkinkan desentralisasi asimetris, yakni ketidakmerataan pembangunan, berbatasan dengan negara lain, kaya sumberdaya alam, adanya tatanan keraton/kerajaan dan Lembaga adat semua provinsi, lintasan jalur laut internasional dan apalagi saat ini IKN ada di Kalimantan. Jadi usulan desentralisasi asimetris tidak harus dilewati dengan separatism,” bebernya.
Bagaimana terkait UU Provinsi Kalsel tahun 2022?
“Saya kira kita patut memberikan apresiasi atas usaha ini meluruskan yang bengkok, meninggikan yang rendah terkait alas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 yang memang harus diganti meski banyak pihak tercengang sampai harus berganti pusat Ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru,” sahutnya.
Realitas ini menjadi catatan penting bagi kita ke depan bahwa keterlibatan ragam actor, partisipasi publik terhadap hal-hal hajat ornag banyak mesti diperlukan ruang diskursus pada aras input dan proses sebelum masuk pada ruang formulasi kebijakan. (dya)