OLEH
PIMPINAN UMUM KORANBANJAR.NET, DENNY SETIAWAN
ISTILAH “Pesta Demokrasi” dipopulerkan pertama kali pada pemilihan umum tahun 1982 atau lebih tepatnya diucapkan Presiden kedua, Soeharto pada sebuah rapat nasional persiapan pemilu yang dihadiri gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia, Februari 1981. “Kita harus menganggap pemilihan umum sebagai sebuah pesta besar demokrasi,” demikian kata Soeharto saat itu.
Esensi Pesta Demokrasi yang disebutkan itu sesungguhnya ingin menciptakan Pemilu yang bersih, terbuka jujur dan adil. Namun seiring waktu, Pesta Demokrasi kini telah “berubah makna” menjadi sebuah “Pesta Rakyat” yang kebablasan hingga seluruh rakyat memaknai secara terbuka dengan istilah sistem NPWP (Nomer Piro Wani Piro).
Apa itu “Pesta Rakyat” ? Dalam Pesta Rakyat di sini, tidak ada hidangan yang disuguhkan, tidak ada kemeriahan layaknya menyambut Tahun Baru dengan berbagai hingar bingar lampu dan petasan, dan tidak ada dansa.
Lantas apa sesungguhnya yang bisa dinikmati rakyat dalam pesta ini? Rakyat bisa menikmati uang yang diberikan sebagai mahar untuk mencoblos? Uang ‘lelah’ sebagai bagian tim kampanye, tim pemenangan dalam proses menuju hari pencoblosan. Pesta Rakyat yang dimaksudkan di sini, bukan hanya rakyat dalam konteks akar rumput yang mendapat manfaat dari peserta yang mengikuti kontestasi.
Tetapi tidak sedikit oknum lembaga penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilu yang turut mengambil kesempatan menikmati “Pesta Rakyat” untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Bahkan sengketa Pilkada yang terjadi pada setiap proses kontestasi politik bukan bertujuan untuk meluruskan yang bengkok, melainkan jadi lahan bargaining untuk memperoleh keutungan. Dan itu sudah menjadi rahasia umum. Akhirnya, siapa yang mempunyai ‘logistik’ lebih besar, merekalah yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk memenangkan kontestasi sebelum pertarungan di laga.
Sebagaimana yang terjadi pada Pilkada Serentak di Provinsi Kalimantan Selatan, mulai Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hingga Pemilihan Kepala Daerah setingkat Walikota dan Wakil Wakil Walikota maupun Bupati dan Wakil Bupati. Sebelum hari pencoblosan tiba, berbagai manuver atau intrik politik untuk mempermudah kemenangan sudah dilakukan. Sederhananya, kalau bisa mengalahkan lawan sebelum pertarungan, mengapa harus menunggu arena digelar?
Peserta kontestasi Pilkada (mungkin) sudah sangat memahami, dalam setiap pertarungan perebutan kekuasaan, biaya politik yang dipersiapkan teramat besar. Oleh sebab itu, jika memperoleh kesempatan untuk “menumbangkan” lawan sebelum pertarungan dilangsungkan, mereka lebih memilih untuk memenangkan kontestrasi sebelum bertarung.
Sehingga biaya politik untuk memenangkan kontestasi pun semakin hemat, komplik di tingkat bawah saat hari pencoblosan dapat diminimalisir.
Per hari ini, Pilkada Serentak baik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel maupun Pemilihan Kepala Daerah setingkat Walikota dan Bupati tinggal menghitung hari. Manuver politik untuk memenangkan kontestasi melalui jalur sengketa terus bergulir. Tim Kampanye (Tim Pemenangan) masing-masing peserta yang semula gencar menggalang massa, kini mulai menurunkan intensitas pertemuan secara langsung dengan masyarakat. Pesta Rakyat yang tengah dinanti-nanti masyarakat akan terjadi tidak semeriah dulu.
Sekarang masing-masing peserta Pilkada Serentak lebih fokus menghadapi sengketa yang tengah bergulir di lembaga penyelenggara. Sebelum berhasil merebut hati rakyat, mereka terlebih dulu memastikan bisa memenangkan sengketa keikutsertaan mereka dalam kontestasi.
Dan untuk memastikan itu, mereka hanya mendapatkan kesempatan waktu puluhan hari. Setelah itu, mereka kembali dihadapkan pada “Pesta Rakyat” yang lebih meriah atau biasa-biasa saja. Apapun hasilnya, itulah konsekuensi berpolitik. SELAMAT MENIKMATI. (*)