Tahun 2024 adalah tahun dirundung tragedi bagi Kalimantan Selatan (Kalsel).
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Ungkapan ini disampaikan oleh tokoh budayawan Kalsel atau banua sekaligus tokoh kritis Forum Ambin Demokrasi, Noorhalis Majid.
“Memang boleh dibilang tahun dua ribu dua puluh empat ini merupakan tahun tragedi bagi Kalimantan Selatan, berbagai peristiwa yang memilukan sekaligus memalukan, datang beruntun tanpa kenal ampun,” ungkap Noorhalis Majid, Selasa (31/12/224).
Lanjut dikatakannya, tidak tanggung-tanggung, peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sumber kehebohan se jagad raya, dan membuat siapapun sulit memalingkan muka untuk tidak memperhatikannya.
Beberapa kejadian memalukan yang disebut tahun 2024 di rundung tragedi antara lain, dibatalkannya 11 guru besar yang berujung pada merosotnya akreditasi kampus, tragedi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang kasusnya terus berproses melibatkan banyak tokoh, memaksa Gubernur mundur dari jabatannya.
Tragedi Pilkada Kota Banjarbaru yang “abal-abal” karena penyelenggara tidak mampu menghadirkan kotak kosong untuk calon tunggal pasca diskualifikasi.
“Sehingga disorot sebagai Pemilu teraneh di dunia, belum lagi maraknya kasus narkoba, judi online, PHK yang begitu tinggi dan berpotensi pada tingginya tingkat kriminalitas,” tuturnya.
Semua tragedi dan keadaan tersebut sangat menghebohkan, menjadi berita bahkan sorotan nasional, dan tidak bisa dipandang remeh. Orang lantas bertanya, ada apa dengan Kalimantan Selatan?
Kalau semua tindakan dan perbuatan yang melahirkan tragedi tersebut bersumber dari pikiran, terimplementasi dalam tindakan dan laku, problem dasar apa sebenarnya yang melanda Kalimantan Selatan? kenapa dan ada apa?
“Pertanyaan itu layak menjadi perenungan,” ucapnya.
Lebih dalam dipaparkan, bila pemimpin dipercaya sebagai cermin dari warganya, mungkinkah segala tragedi tersebut potret kondisi mayoritas warga Kalimantan Selatan?
Bagaimana peran para penganjur moral dan etik yang ada pada mejelis-majelis agama, sekolah, kampus, lembaga pendidikan agama, mimbar dan khotbah keagamaan.
“Apakah mereka berada pada dunia yang berbeda dengan tragedi-tragedi tersebut,” katanya.
Sebagai manusia berbudaya, sambungnya, yang memiliki akal, budi, pikiran, perasaan dan pengetahuan, sudah selayaknya berefleksi kenapa sampai dirundung tragedi sedemikian rupa. Apa yang salah?
“Dan hal mendasar apa yang harus diperbaiki? Bagaimana caranya bangkit dan berbenah,” tanya mantan Kepala Kantor ombudsman Wilayah Kalsel ini.
Putus asa tentu tidak membawa pada perbaikan apapun imbuhnya, karena itu tidak ada pilihan lain, kecuali merenung dan memperbaiki diri.
“Sembari sadar bahwa di tengah pesta pelepasan tahun dua ribu dua puluh empat ada duka dan tragedi yang harus disesali untuk diperbaiki,” tutupnya.
“Tahun ini (2024) Dirundung Tragedi,”
Merupakan tema refleksi akhir tahun LK3 (Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan), suatu NGO yang berdiri pada 18 Januari 1994, yang berarti usianya sudah lebih 30 tahun.
Diusia setua itu, mustahil kalau lembaga ini tidak dikelola secara serius, terutama terkait berbagai hal yang membuatnya tetap relevan sepanjang 3 dasawarsa. (yon/bay)