Jaringan Pedamping Kebijakan Pembangunan (JPKP) Kalimantan Selatan menyoroti wacana kenaikan tarif PDAM di Kalimantan Selatan, seperti di Kota Banjarmasin.
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Ketua JPKP Kalsel, Winardi Sethiono kepada koranbanjar.net menyentil, sebelum Pilkada, Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin mencabut kebijakan tarif pemakaian minimum air bersih Perusahaan Daerah Air Minum setempat, yakni 10 meter kubik.
“Artinya sebelum Pilkada tidak ada kenaikan tarif, kebijakan ini disambut genggap gembita masyarakat Banjarmasin kala itu, mereka sangat senang luar biasa,” ujarnya.
Kalau kebijakan tersebut kata Winardi terus dipertahankan, maka Kota Banjarmasin memiliki Kepala Daerah yang sangat bijaksana.
Diingatkannya kembali karena adanya pandemi, sehingga dikeluarkan kebijakan mencabut tarif 10 meter kubik. Namun lanjut Win, biasa Winardi disapa, semua dari berbagai sektor dan elemen masyarakat ikut terdampak.
“Hanya saja kalau pedagang besar, walau turun omset penjualan tetapi masih ada tersisa 50%, nah bagaimana dengan pedagang kecil, apa yang dihasilkan, habislah,” ujarnya.
Menurutnya, jangan menyamaratakan soal terdampak, kadang-kadang masyarakat paling bawah yang merasakan parah sekali.
Olah karena itu ada spot atau bantuan dari pemerintah khususnya kepada masyarakat yang berstatus zona merah.
“Salah satu contoh seperti PLN, yang mengenakan tarif hanya 50% kepada masyarakat di kawasan merah (zona merah), ini sebuah kebijakan luar biasa yang dilakukan sebuah BUMN,” tuturnya.
“Andaikata PDAM melakukan hal seperti ini, maka semakin luar biasa,” sambungnya.
Ditanya kembali soal respon masyarakat terhadap kenaikan tarif PDAM yang direncanakan 2 kali lipat ini, Win berpendapat, akan sangat mengecewakan masyarakat karena di masa pandemi Covid-19 banyak yang hilang penghasilan.
“Kalau kenaikan itu tetap dipaksakan, akan berat sekali, maka perlu evaluasi lebih seksama dari pemangku kebijakan,” tukasnya.
Sekadar mengingat kembali, tahun kemarin menjelang Pilkada 2020 WaliKota Banjarmasin Ibnu Sina mencabut kebijakan tarif pemakaian minimum air bersih Perusahaan Daerah Air Minum setempat, yakni 10 meter kubik, guna merespon aspirasi masyarakat.
Ibnu mengatakan pencabutan kebijakan sejak 2017 itu sebagai keputusan murni untuk merespon aspirasi masyarakat, di mana pandemi Covid – 19 membuat kondisi ekonomi mereka makin sulit.
Dia juga sempat membantah keputusan itu karena daerah setempat hendak melaksanakan Pilkada
Akan tetapi, katanya, karena pandemi Covid – 19 sebagai waktu yang tepat untuk meringankan beban masyarakat, dimulai saat pembayaran tarif pada Oktober 2020.
Dia mengungkapkan mereka yang sangat terdampak kebijakan tarif minimum itu 21 ribu pelanggan kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang sebenarnya menggunakan air di bawah 10 meter kubik tersebut, namun tetap bayar 10 meter kubik.(yon/sir)