Ini Pendapat Dokter Spesialis Kejiwaan Soal Maraknya Gantung Diri di Banjarbaru

dr Winda Oktari A, Sp. KJ

Bulan Oktober 2021 terdapat sederet kejadian orang gantung diri, marak di Kota Banjarbaru. Dalam seminggu saja, kurang lebih tiga kali kejadian terjadi di Banjarbaru. Lantas, bagaimana pendapat atau pandangan dokter spesialis kejiwaan.

BANJARBARU,koranbanjar.net – Kisaran usia korban yang nekat mengakhiri hidup bermacam-macam. Dari usia tua hingga masih muda. Serta alasan hingga nekat mengakhiri hidup pun bermacam.

Menurut pandangan Psikiater Kejiwaan dr Winda Oktaria, dirinya prihatin dan sedih atas kejadian yang telah terjadi waktu itu.

“Artinya kita kecolongan, sebelum kejadian mendeteksi tidak menduga melakukan cara itu,” ujarnya saat ditemui.

Orang-orang yang nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri, diungkapkannya, mungkin korban menyimpan sesuatu yang dirasanya cukup membuat berat perasaannya.

“Kita tidak tau suasana hatinya sedih yang mendalam, atau misalnya faktor yang menyertai seperti penyakit tidak kunjung sembuh, dan tidak mau ribet hingg memilih jalan itu. Biasanya korban yang cukup berumur,” ungkapnya.

Serta, dijelaskannya lagi, korban yang menginginkan sesuatu namun tidak terpenuhi hingga akhirnya mengancam namun malah keterusan hingga berujung kematian.

Hal itu karena tidak tau atau tidak peka dengan perubahan suasana, perilaku seseorang.

“Peran orang terdekat sangat diperlukan untuk memperhatikan perubahan itu, dan mengajak untuk membicarakan suatu masalah,” jelasnya.

Sangkut pautnya yakni soal kesehatan mental. Memang dimasyarakat soal kesehatan mental masih dianggap tabu.

“Membicarakan sifat suasana perasaan semua orang tidak mau, dan memang tidak gampang,” sambungnya.

Maka dari itu, seseorang dapat menyimpan dengan baik masalahnya hingga muncul pikiran negatif saat masalah itu menumpuk dan membesar.

“Salah satu pelarian atau keputusan akhir maka dengan cara mengakhiri hidup. Gangguan itu tidak bisa disebut depresi, perilakunya juga tidak bisa disebut depresi,” ujarnya.

Banyak bahasa masyarakat dengan bahasa medis yang tidak sama.

“Saat dibawa ke psikiater, ternyata dia berhalusinasi mendengar bisikan, atau halusinasi auditori dan halusinasi komentari. Hingga membuat perasaan atau suasana hati tidak enak. Pusing ingin cerita ke siapa, lalu dimasyarakat disebut ada yang mengguna-guna, padahal medis menyebut halusinasi,” jelasnya.

Jika sudah masuk dalam fase berhalusinasi, tidak bisa lagi membedakan realita, dan harus dengan obat.

“Gangguan itu ada dari ringan hingga berat. Dari ringan, bisa dengan konsultasi saja, sedang bisa tanpa obat atau tidak, sedangkan berat harus menggunakan obat, karena dirinya merasa berpikiran irasional,” ujarnya.

“Jadi kita tidak bisa buru-buru menyebut orang yang gantung diri depresi. Kita menyebutnya gangguan psikotik, bisa juga karena make,” lanjutnya.

Kejadian ini menjadi teguran, hingga kita harus kecolongan atas kejadian itu.

“Jangan menilai orang dari luar saja, bisa saja senyum-senyum tapi memiliki banyak masalah,” ucapnya.

Maka itu, kita harus lebih peka dengan orang terdekat kita.

“Jadi kalau mengutamakan fisik tapi jiwa kita tidak, belum dikatakan sehat. Jika dirasa tidak nyaman, mungkin kita bisa mencari orang terdekat untuk bertukar pikiran,” pesannya.

Diungkapkan lagi oleh Doktor lulusan S2 Universitas Indonesia ini, di Kalsel hampir seluruh Kabupaten/Kota tersedia doktor spesialis kejiwaan.

“Hanya ada dua yang belum, Barito Kuala dan Kotabaru. Karena orangnya masih sekolah. Jadi jangan takut dan malu jika ingin konsultasi, dijamin data aman,” ungkapnya. (maf/dya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *