Scroll ke bawah untuk melanjutkan
Koran Banjar
Koran Banjar
Headline

Fenomena Banyak Pejabat Publik Terjerat Kasus Korupsi, Lantaran Tata Kelola Manajemen Tidak Betul

Avatar
879
×

Fenomena Banyak Pejabat Publik Terjerat Kasus Korupsi, Lantaran Tata Kelola Manajemen Tidak Betul

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI - Tindak korupsi.
ILUSTRASI - Tindak korupsi.

Belakangan, fenomena banyak pejabat publik yang terjerat kasus korupsi. Mulai pejabat daerah sekelas kepala daerah sampai pejabat di lingkungan perusahaan daerah maupun swasta. Ada apa sebenarnya?

BANJARMASIN, koranbanjar.net – Korupsi telah merebak di kalangan pejabat daerah, baik itu di lingkungan pemerintahan, perusahaan daerah, BUMN sampai perusahaa swasta.

Advertisement
Koran Banjar
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Bahkan banyak di antaranya yang terbukti bersalah dengan vonis hukuman penjara mulai 5 sampai 8 tahun penjara. Hal itu tidak memberikan efek jera dan pelajaran bagi pejabat tinggi atau pejabat utama untuk melakukan tindakan korupsi.

Mencermati hal itu, Akademisi, Dosen di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Fikri Hadin kepada koranbanjar.net, Selasa (3/8/2021)  berpendapat, fenomena kasus korupsi yang diduga melibatkan orang nomor satu di lingkungan pemerintahan, perusahaan baik milik daerah maupun milik negara disebabkan tata kelola manajemen yang kurang baik.

Menurutnya, membahas tentang korupsi, itu sudah jelas termuat di dalam Undang – Undang Tipikor. Namun bicara soal pemerintahan, tata kelola harus dibetulkan terlebih dulu.

“Bicara pemerintahan, tata kelolanya harus dibetulkan atau good goverment,” ujar Fikri.

Sebelum melihat bagaimana fungsi penegakan hukum terkait penanganan tindak pidana korupsi, di mana Fikri menyebutnya ini adalah hilirnya.

Akademisi Fakultas Hukum Unlam, Fikri Hadin SH. LLM.(foto: ist)
Akademisi Fakultas Hukum Unlam, Fikri Hadin SH. LLM.(foto: ist)

“Terlebih dulu kita sorot hulunya, apakah tata kelolanya sudah benar? Hal itu menghindari terjadinya tindakan korupsi,” ucapnya.

Seseorang dikatakan korupsi, lanjutnya harus ada indikasi kerugian negara, dan yang dikelola adalah misal dana APBD dan APBN, selain itu ada perbuatan melawan hukum. Dalam UU Tipikor dimaknai formil peraturan perundang – undangan.

Orang yang sudah memiliki kemampuan mencerna itu, sambungnya apalagi tingkat pejabat, tentu mereka mengetahui tentang aturan tersebut.

“Mungkin ada tuntutan dan lain sebagainya, namun seharusnya bisa memperbaiki sistem-sistem tata kelola ini,” ungkapnya.

Lebih lanjut diterangkan, Undang-Undang Administrsi Pemerintahan sudah mengatur bagaimana tata kelola yang baik. Misal ada pengawasan yang tepat, perencanaan yang baik.

“Jangan sampai kita bicara hilirnya tetapi penyakitnya kita tidak tahu, kalau rezim hukumnya itu hukum administrasi lah,” sebutnya.

Korupsi ini intinya bagaimana menjalankan kewenangan itu sesuai dengan pertunjukan, kalau tidak sesuai maka berdempet- dempet pada kerugian negara.

“Karena saya bicara soal tata kelola, hari ini masih banyak tata kelola kita yang harus disempurnakan, dan ini merupakan PR besar,” tandasnya.

Catatan singkat beberapa kasus dugaan korupsi yang terjadi di lingkungan pemerintahan dan pimpinan sebuah perusahaan milik daerah, maupun perusahaan milik negara, antara lain;

Kasus dugaan korupsi dana kas daerah Perusahaan Daerah (PD) Baramarta Kabupaten Banjar dengan terdakwa mantan Direktur Utama (Dirut), Teguh Imanullah (TI).

TI diduga menyalahgunakan dana kas daerah selama menjabat sebagai Dirut PD Baramarta sejak tahun 2017 hingga 2020. Sehingga daerah mengalami kerugian senilai Rp9,2 miliar.

Kasus dugaan korupsi dana pengembangan Rumah Sakit H. Boajasin Pelaihari Kabupaten Tanah Laut, lagi – lagi terdakwa mantan Direktur Utama yang diketahui Eddy Wahyudi (EW).

EW, Dirut periode 2014 -2018  diduga melakukan tindak pidana korupsi, dengan membelanjakan keuangan rumah sakit di luar peruntukan.

Tak hanya Eddy, dua bawahannya pada waktu kejadian yakni, Kasubag Keuangan Asdah Setiani yang menjabat tahun 2012-2015 dan Faridah pejabat di tahun 2015-2018 ikut menjadi terdakwa juga menjalani proses yang sama.

Eddy dan dua bawahannya oleh JPU dalam dakwaannya dituduh melakukan pengeluaran keuangan rumah sakit dari hasil keuntungan Badan Layanan Keuangan Daerah (BLUD) di luar peruntukan.

Di samping uang hasil jasa pelayanan tidak dimasukan ke rekening rumah sakit, tetapi ke rekening atas nama pribadi Asdah maupun Paridah.

Faktanya pengeluaran rumah sakit akhirnya di luar peruntukan. Perhitungan akibat perbuatan ketiga terdakwa sebesar Rp2.166.039.000 tidak bisa dipertanggungjawabkan, kerugian negara/daerah tersebut didasari hasil audit BPK RI perwakilan Kalsel.

Dalam sidang putusan, EW dituntut penjara selama lima tahun, selain itu terdakwa juga dibebani membayar denda Rp100 juta subsidair 6 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti sebesar Rp 2,1 miliar.

Apabila selama 1 bulan tidak dibayar maka seluruh harta terdakwa dirampas untuk menutupi uang pengganti kalau tidak ada maka menjalani pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan pidana penjara.

Sementara dua terdakwa lainnya yakni, Faridah dituntut pidana penjara selama 3 tahun denda Rp 100 juta subsidair 6 bulan kurungan pidana penjara.

Sedangkan terdakwa Asdah Setiani dituntut tiga tahun, denda Rp100 juta subsidair 6 bulan kurungan. Keduanya adalah mantan Kasubag Keuangan pada rumah sakit tersebut.

JPU berkeyakinan ketiga terdakwa melanggar  3  jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999  sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Berikutnya, mantan Kepala Bank BRI Cabang Ahmad Yani, Wahyu Krisnayanto (WK) dituntut 8 tahun penjara.

Terdakwa (WK) bersama dua rekannya satu kantor, Nugraha Budi Satrian (BS) dan Muhamad Yanuar (MY) yang masing-masing dituntut selama 7 tahun dan 6 bulan didakwa bekerjasama membuat kredit fiktif untuk keperluan pribadi mereka.

Dalam menjalankan modusnya, ketiga terdakwa menggerogoti uang tempatnya bekerja dengan membuat dokumen yang tidak benar seolah-olah ada nasabah yang mendapat kredit. Dalam dakwaan ternyata ini hanya fiktif.

Akibatnya berdasarkan perhitungan BPKP terdapat kerugian negara sebesar Rp1.594.731.690. Hal ini dilakukan mulai tahun 2015-2018.

WK diwajibkan membayar uang pengganti paling besar yakni Rp800 juta lebih, bila tak dapat membayar maka kurunganya bertambah selama 4 tahun dan 6 bulan.

Sedangkan BS dan MY diganjar pidana denda masing-masing Rp300 juta subsidair selama tiga bulan.

JPU berkeyakinan, ketiga terdakwa bersalah melanggar pasal 2 jo pasal 18 UU RI No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, jo pasal 64 ayat 1 KUHP, seperti pada dakwaan primairnya.

Kasus dugaan korupsi lainnya terjadi di Dinas Perhubungan Kota Banjarbaru yang melibatkan Mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Banjarbaru, Ahmad Jayadi (AJ).Terdakwa diduga melakukan korupsi dana retribusi pengelolaan jasa parkir.(yon/sir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protes RUU Anggota Parlemen Menari Perang Prabowo Ajak Puasa 5 Tahun KPK Lelang Barang Koruptor Gus Miftah Meminta Maaf Gus Miftah Ejek Penjual Es Teh