Scroll ke bawah untuk melanjutkan
Koran Banjar
Koran Banjar
Headline

PSBB adalah Pilihan Paling Tepat Bagi Pemerintah Tangani Wabah Covid-19

Avatar
392
×

PSBB adalah Pilihan Paling Tepat Bagi Pemerintah Tangani Wabah Covid-19

Sebarkan artikel ini

Pemerintah menangani wabah covid 19 dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pilihan kebijakan yang dianggap pemerintah pusat paling tepat di Indonesia.

BANJARMASIN,koranbanjar.net – Paling tepat bagi pemerintah karena selain awalnya memang karena faktor kondisi keuangan negara yang minim, hingga diikuti dengan herd imunity dan melakukan distribusi Jaring Pengaman Sosial (JPS) serta beberapa kebijakan lain yang beranjak dari kepentingan ekonomi.

Advertisement
Koran Banjar
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Hal ini diutarakan Dosen FISIP ULM Taufik Arbain MSi kepada koranbanjar.net, Rabu (13/5/2020).

Menurutnya, kita saat ini harus menerima kenyataan kebijakan tersebut.

Maka dari itu adanya izin status PSBB di empat wilayah di Kalsel, yakni Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala karena bersandar pada jumlah terpapar sebagaimana diatur dalam kebijakan ini pada PP No.21/2000 dan Permenkes No.9/2000 harus diimplementasikan dengan melihat berbagai aspek.

“Saya melihat ada tiga aspek yakni pertama karakterisktik kewilayahan, aspek kedua karakteristik demografi serta aspek ketiga waktu berlangsungnya kebijakan,” papar pengamat Kebijakan Publik Fisip ULM.

Aspek karakteristik wilayah melihat dari aspek adanya perbedaan karakteristik wilayah perkotaan dan pedesaan.

Kabupaten Banjar dan Batola sebagian besar lebih dominan karakteristik pedesaan yang memungkinkan sangat terbuka perilaku Social dan Physical distancing sehingga memudahkan dalam memberikan himbauan.

Di samping gerak ekonomi desa tetap berjalan karena mereka ke sawah dan mencari ikan, termasuk pergerakan manusia relatif rendah.

Harapannya aktifitas penopang ekonomi pedesaan harus tetap jalan.

Taufik menambahkan kasus Batola misalnya hanya kawasan Handil Bakti yang memungkinkan tingginya intensitas pergerakan orang, dan Kabupaten Banjar kawasan koridor Km7 dan Km14 serta Kota Martapura sehingga penanganan tetap dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar, bukan karantina wilayah.

Disinilah diperlukan model pendekatan yang tidak menimbulkan kecemasan berlebih. Jika ada kerumunan di malam hari ya harus dicegah dengan patroli seperti café-café di dalam wilayah itu.

Jadi belajar dari PSBB Kota Banjarmasin, yang nampaknya telah memilih dengan pendekatan keamanan dan karantina wilayah malu-malu, khawatirnya diadopsi penuh oleh Kabupaten Banjar dan Batola, serta Kota Banjarbaru.

Harus diingat PSBB itu filosofis akhirnya menjaga ekonomi rakyat agar tetap bertahan, dan herd imunity.

“Dengan himbauan Social and Physical distancing .Sebab Pemerintah Pusat nampaknya lebih melihat aspek itu yang berbahaya secara social dan politik sehingga mengapa ada policy choice PSBB,” ungkap Alumni Program Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik UGM ini.

Sementara aspek karakteristik demografi, bahwa di perkotaan lebih dominan penduduk produktif sebagai nilai ekonomi.

Di perkotaan dalam kisaran 60-70 persen penduduk bekerja di sektor informal, apakah sebagai pedagang, PKL, buruh harian dan swasta lainnya.

Fakta ini bahwa ketergantungan hidup mereka pada pekerjaan jelas berbeda dengan kalangan ASN dan pekerja formal lainnya berdasar gaji bulanan dengan pola WFH.

Maka dari itu Pemerintah Kota harus mampu membuat inovasi kebijakan penanganan Covid 19, tanpa harus ada pembatasan menutup usaha-usaha kecil masyarakat, tetapi justru diatur baik timing buka-tutup, dan protokol pencegahan covid dengan menempatkan petugas yang lebih besar di kawasan pasar-pasar.

“Pemerintah jangan bekerja sendiri dengan instrument institusi, tetapi dana refocusing APBD untuk covid bisa mengerahkan relawan-relawan dari kalangan Damkar, LSM, Ormas dan pemuda di titik yang ditentukan, sehingga pembatasan social jalan, ekonomi jalan selama 14 hari dan masyarakat tidak merasa dalam kecemasan,” tegas Ketua Umum Koalisi Kependudukan Kalsel ini.

“Saat ini kan di mana musim pengharapan yakni menjelang lebaran bagi penduduk perkotaan khususnya pedagang yang tentu berkelindan dengan pekerjaan para buruh angkut, dan lainnya dalam mendistribusikan rezeki,” Ketua Umum Indonesian Association Public Administration (IAPA) Kalsel.

Inilah yang dimaksud bahwa kebijakan itu harus pula memperhatikan aspek waktu kapan kebijakan itu diimplementasikan.

Jadi tidak sekadar memilih pada model rational comprehensive, tetapi pada model Mixed-Scanning.

Tidak sekadar pertimbangan rational kesehatan, efisien, tetapi juga pertimbangan rational economic – politis.

Kondisi saat ini di mana ekonomi lesu, Pemerintah tidak sekadar menghadirkan kebijakan (policy), tetapi juga Kebijaksanaan(wisdom) dan Kebajikan (virutues).

Pilihan kebijakan yang beranjak dari analisis komprehensif baik ekonomi, social budaya dan timing sangat diperlukan saat ini, agar rakyat patuh, terbangun trust kepada Pemerintah.

Justru kearifan kebijakan ini mengurangi kecemasan publik yang berlebih sehingga justru tambah stress dan berimplikasi pada menurunnya imun rakyat dan tambah tinggi tingkat morbiditas penduduk.

Untuk itu petugas di lapangan dibutuhkan kesabaran menghadapi kondisi stress yang dihadapi publik selama wabah ini.

“ Kita mengakui apa yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam kondisi dilematis regulasi. Satu sisi perintah pusat menekankan PSBB tetapi tidak disertai pedoman teknis, kecuali inovasi daerah sehingga melahirkan multitafsir dalam penanganan,” papar dia.

“Sisi lain berubah-ubahnya fatwa WHO soal kesehatan, apalagi akan ada rencana boleh penduduk usia 45 tahun keluar bekerja. Untuk itu memang kesadaran publik terus kita bangun, dengan menghadirkan kepercayaan dan kapabilitas pemerintah dalam membuat kebijakan yang tepat,” tandas peraih best paper IAPA Annual Conference 2018 ini. (dya)

Protes RUU Anggota Parlemen Menari Perang Prabowo Ajak Puasa 5 Tahun KPK Lelang Barang Koruptor Gus Miftah Meminta Maaf Gus Miftah Ejek Penjual Es Teh