BANJARBARU – Terkait dengan pemukulan oknum polisi terhadap Fajar, warga Kelurahan Sekumpul, Kecamatan Martapura, Pengamat Hukum Kalimantan Selatan, Aspihani Ideris sangat menyayangkan tindakan tersebut.
Kepada koranbanjar.net, Aspihani menjelaskan, dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI pada Pasal 19 dijelaskan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
“Intinya siapapun, tidak terkecuali Polisi, yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat, itu jelas melanggar hukum” tegas dosen Fakultas Hukum UNISKA Banjarmasin ini, Selasa (14/11).
Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 10 juga menegaskan, bagi Polisi dalam melaksanakan tugas wajib menghormati dan melindungi martabat manusia serta tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan.
Aspihani menegaskan, Polisi dalam melaksanakan tugasnya harus menjalankan yang diamanatkan undang-undang kepada mereka.
Selain itu, menurut Aspihani, sebagaimana terdapat pada Pasal 11 Perkapolri 8/2009 tersebut polisi dilarang melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum. Apalagi dengan kekerasan sampai menghukuman dengan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia itu sendiri.
“Kita menyadari, bahwa buruknya fasilitas umum merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, tetapi masih banyak kita temui beberapa, bahkan banyak fasilitas dan pelayanan umum yang kotor dan rusak. Keluhan yang paling sering di disampaikan mengenai buruknya fasilitas umum tersebut adalah rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya pengawasan dari Pemerintah, dan sistem pelayanan publik yang belum diatur secara jelas dan tegas,” ujarnya.
“Intinya, siapapun tidak dibenarkan menuduh seseorang berlaku buruk tanpa bukti yang sebenarnya. Patahnya kaki kursi di Murjani Banjarbaru itu, bisa saja akibat dampak buruknya fasilitas umum dan fasilitas yang sudah rapuh termakan usia serta tidak dijaga dan dipelihara dengan baik,” ujar Aspihani.
Selanjutnya Aspihani menuturkan, ini semua mungkin saja dikarenakan lemahnya pengawasan dari Pemerintah Kota Banjarbaru, disusul rendahnya tanggung jawab moral dari penyedia jasa semula, sehingga kursi tersebut mudah patah, walaupun itu terbuat dari besi.
Berdasarkan logika, lanjutnya, tidak mungkin kursi tersebut bisa patah seketika hanya diakibatkan di duduki 4 anak muda, lantaran diangkat sedikit.
“Kan kursi itu dari besi, memangnya berapa sih berat badan mereka. Jadi apabila mereka itu di tuduh oknum Dinas Pertamanan Kota Banjarbaru, maka itu adalah hal yang diada-adakan dan polisi pun memasang pasal 406 KUHP itu adalah hal yang dipaksakan. Ini perlu dikaji ulang, ada apa antara Jainah dan Oknum Polsek Banjarbaru Kota? ” tanya Aspihani kepada wartawan. (dra)