Tak Berkategori  

Wahai Wakil Rakyat, Mana Rasa Empatimu?

Oleh

Denny Setiawan

Pimpinan Redaksi Koran Banjar

SAYA salah seorang rakyat biasa yang mengikuti perjuangan demi perjuangan yang dilakukan masyarakat Desa Padang Panjang, Sungai Landas, Mandiangin dan Desa Karang Intan, Kabupaten Banjar, dalam upaya memperoleh sertifikat prona atas tanah mereka yang turut diklaim pihak TNI.

Tidak sedikit tanah yang mereka perjuangan, mencapai 800 hektar dari sekitar 700 pemilik. Dari sekian banyak tanah yang turut diklaim TNI tersebut, sebagian kecil sudah disertai sertifikat prona, namun sebagian besar masih belum.

Keinginan masyarakat sangatlah wajar, mereka hanya ingin memperoleh kepastian dari tanah yang diwariskan nenek moyang mereka. Ada yang disertai surat segel tahun 50-an, bahkan ada yang tahun 30-an.

Sebaliknya, pihak TNI bersikukuh dengan dasar kepemilikan tanah Negara yang mereka kuasai, berupa peta lokasi. Dalam proses pembuktian atas tanah tersebut, masyarakat berupaya menghadirkan pihak-pihak penengah, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta pihak TNI yang membidangi masalah aset.

Pertemuan antara masyarakat dan pihak TNI yang disertai penengah pun sempat dilakukan beberapa kali. Bahkan mereka juga melakukan peninjauan secara langsung ke lokasi tanah, disertai pihak BPN untuk melakukan pendataan ulang secara detil.

Nah, dari pihak masyarakat telah menunjukkan bukti-bukti atas tanah yang mereka klaim, seperti segel. Sedangkan pihak TNI masih belum menunjukkan bukti-bukti tersebut, kecuali peta lokasi. Karenanya dalam pertemuan kedua pihak, BPN Kabupaten Banjar sempat berjanji akan meminta pihak TNI untuk menunjukkan bukti-bukti yang diminta masyarakat.

Hal itu bertujuan agar BPN dapat memverifikasi bukti-bukti yang ditunjukkan kedua pihak. Anehnya, setelah satu bulan sejak pertemuan kedua pihak itu berlangsung, BPN Kabupaten Banjar juga tidak bisa bersikap, baik menunjukkan bukti-bukti dari pihak TNI maupun memutuskan untuk menerbitkan sertifikat prona yang dituntut masyarakat.

Alhasil, keinginan masyarakat untuk mendapatkan sertifikat dari BPN Kabupaten Banjar tidak terwujud.

Langkah berikutnya, masyarakat meminta Pemerintah Provinsi Kalsel agar dapat memfasilitasi keinginan mereka untuk duduk satu meja dengan BPN Provinsi Kalsel dan lembaga terkait.

Di pertemuan itu, Pemprov Kalsel memutuskan akan membentuk tim penyelesaian. Berminggu-minggu hingga bulan, masyarakat menunggu undangan atas pembentukan tim yang sudah direncanakan pihak Pemprov Kalsel. Namun lagi-lagi, masyarakat harus menelan pil pahit, berjalan 3 bulan, tim yang dimaksud tidak terbentuk pula.

Meski telah dikecewakan berulang kali oleh banyak pihak, masyarakat tidak berhenti sampai di situ. Masyarakat kembali meminta dukungan dan bantuan dari DPRD Kabupaten Banjar melalui Komisi I.

Awalnya, masyarakat sudah mulai mendapatkan “angina segar” dari janji yang disampaikan Komisi I DPRD Kabupaten Banjar. Komisi yang membidangi masalah itu, sudah melakukan koordinasi dengan BPN Provinsi Kalsel, akan mengajak masyarakat untuk rapat bersama.

Tapi apa yang diperoleh masyarakat? Tengah malam, menjelang pertemuan esok hari dengan pihak BPN Provinsi Kalsel, masyarakat kembali mendapatkan kabar yang sangat tidak mengenakkan. Pihak DPRD Banjar memberitahu, bahwa pertemuan dengan BPN Provinsi Kalsel telah dibatalkan, dengan alasan BPN Provinsi Kalsel masih belum siap.

Mencermati kendala-kendala yang dihadapi masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka itu, saya jadi bertanya, apakah cuma sampai di situ peran para wakil rakyat?

Sedemikian bangganya mereka mengenakan label sebagai “wakil rakyat”, sementara untuk sekadar menunjukkan empati saja tidak mampu? Apa hebatnya duduk di kursi empuk, sedangkan rakyat yang diwakili berteriak dan menjerit?

Tanyalah pada hari nurani Anda, sejak awal memilih menjadi “wakil rakyat”, Anda mestinya sudah paham bahwa Anda milik rakyat, memperjuangkan hak rakyat, duduk sama rendah dengan rakyat. Itulah konsekuensi bila Anda memilih sebagai wakil rakyat, bukan wakil segelintir golongan.(sir)