Tak Berkategori  

Tradisi ‘Mangayu’ Persiapan Resepsi Perkawinan di Sungai Harang HST

HARUYAN, KORANBANJAR.NET – Pernikahan dalam Islam merupakan syariat yang hukumnya sunnah dilakukan jika sudah memounyai keinginan dan mampu untuk melaksanakan perkawinan.

Dalam pelaksanaannya terdpat budaya dan kearifan lokal di setiap daerah masing-masing, mulai dari persiapan sampai pelaksanaan.

Seperti halnya tradisi bergotong royong mangayu yang dilakukan warga Gunung Cangkulan desa di Desa Sungai Harang, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dalam rangka persiapan resepsi perkawinan warganya.

Mereka warga Gunung Cangkulan ini berada di kaki pegunungan Meratus yang masih mempertahankan tradisi meskipun sudah banyak alat modern yang digunakan masyarakat.

Mangayu sendiri merupakan tradisi mencari kayu bakar ke hutan dengan bergotong-royong yang dilakukan oleh kaum lelaki. Biasanya mangayu ini dilakukan warga satu bulan sebelum hari pelaksanaan acara perkawinan.

Usai lebaran Idul Fitri ini, kegiatan mangayu sering dijumpai di desa tersebut, menyusul banyaknya yang menggelar perkawinan. Bahkan, tradisi ini juga dilakukan disejumlah desa di Hulu Sungai Tengah.

Syahri, warga Desa Sungai Harang mengatakan, tradisi ini tidak hanya berlaku untuk acara perkawinan, juga untuk acara lainnya seperti memperingati 100 hari kematian warga atau yang sering disaebut warga manyaratus, aruh adat atau kegiatan lainnya yang bersifat dari masyarakat untuk masyarakat.

“Mangayu ini disamping memudahkan warga, juga lebih mempererat silaturahmi dan kerukunan warga karena harus dilakukan secara bersamaan atau gotong royong,” ujarnya kepada koranbanjar.net.

Kayu tersebut didapat di hutan dan bukit yang didaki dengan tingkat kecuraman 60 derajat. “Tidak ada kendaraan yang mampu menuju lokasi untuk mengambil kayu di atas gunung, hal ini menjadi kewajiban bagi masyarakat khususnya laki-laki yang harus menggotong batang kayu hampir 1 kilo meter perjalan,” jelasnya.

Sesampainya di perkampungan, kayu langsung dibelah menggunakan kapak. Masyarakat di sana menyebutnya  dengan manungkih kayu.

Syahri mengungkapkan, kayu yang digunakan pun beragam, mulai dari batang pohon karet, pohon nangka dan lain-lain.

Dari pantauan Koranbanjar.net di lokasi, Senin (25/6) sekitar pukul 11.00 Wita, beragam ukuran pohon mulai dari 1 hingga 3 meter yang digotong dari bukit menuju perkampungan. (mj010/dra)