Masalah kemiskinan bukanlah hal yang baru bagi pemerintah. Bahkan angka kemiskinan selalu menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Pusat, tidak terkecuali bagi Pemerintah Daerah, mulai Pemerintah Provinsi hingga Pemerintah Kabupaten.
Naik atau turunnya angka kemiskinan di sebuah daerah menjadi tolak ukur sebuah keberhasilan bagi pemerintah. Bila angka kemiskinan melonjak naik, sudah seharusnya jajaran pemerintah “sakit hati”. Sebaliknya, bila angka kemiskinan cenderung turun, itu artinya perhatian pemerintah terhadap warganya yang miskin, patut mendapat apresiasi.
Nah, di Kabupaten Banjar, angka kemiskinan terbilang masih cukup banyak. Ironisnya, kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Banjar lebih banyak berada di daerah pelosok. Salah satu sampel kantong kemiskinan yang menjadi liputan khusus KoranBanjar.Net adalah wilayah Kecamatan Astambul seperti di Desa Munggu Raya dan Kelampayan, kemudian wilayah Desa Aluh-Aluh, Kecamatan Aluh-Aluh.
Berdasarkan data Dinas Sosial Kabupaten Banjar, dari jumlah penduduk Kabupaten Banjar sebanyak 540 ribu jiwa, sebanyak 91 ribu (Basis Data Terpadu) di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka hidup dengan tempat tinggal yang notabene tidak layak, rumah yang reot, kecil, sumpek, atap serba bolong, kemudian dihadapkan pada kebutuhan pangan yang serba tidak ada, rentan dengan berbagai penyakit serta anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan memadai, karena ketidakmampuan ekonomi.
Salah satu kehidupan memilukan tersebut telah dialami Kamsiyah (63), warga Desa Munggu Raya Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. Selain hidup miskin, dia juga menderita penyakit kerapuhan tulang kaki. Sehingga, untuk kemana-mana dia tidak bisa terpisah dengan tongkat.
Gubuk yang ditempati Kamsiyah ini nyaris tak bisa dihuni. Untuk dapat memasuki gubuknya, tamu harus lebih berhati-hati, karena lantai rumah yang terbuat dari kayu itu sudah sangat rapuh.
Rumah yang berukuran 3 x 6 meter persegi itu terasa sesak, lebih-lebih dipenuhi dengan perabotan yang tak layak digunakan. Atap rumah itu sudah bolong di sana-sini. Apabila hujan, Kamsiyah terpaksa harus mengungsi ke rumah tetangga. Begitu pula dinding rumahnya yang sudah lapuk.
Namun sangat disayangkan, Kamsiyah tinggal bersama anaknya, Mukrani (32). Secara fisik, anaknya mampu untuk bekerja lebih keras, entah apa sebabnya, dia lebih pasrah menerima nasib dan hanya bekerja sebagai pencari ikan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kamsiyah harus bekerja keras membuat bungkalang (bakul terbuat dari rotan) untuk membeli beras.
Jika bungkalang tidak laku dijual, maka dipastikan mereka tidak makan. Sedangkan Mukrani hanya bisa mencari ikan saat air sungai mulai pasang. Dan jika tidak, maka tidak ada pekerjaan lain yang dikerjakan.
Adapun hal lain yang dialami Kamsyiah adalah sejak 10 tahun lalu, dia menderita kerapuhan pada tulang.
“Sampai sekarang saya tidak pernah berobat ke rumah sakit. Karena keterbatasan biaya,” ungkap kamsiyah.
Bukan hanya itu, selama ini mereka tak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Dia hanya mendapatkan bantuan dari masyarakat yang merasa iba dengan keadaannya. Apabila banjir datang, Kamsiyah dan anaknya hanya bisa tidur di jukung (sampan). Atau mengungsi ke rumah tetangga yang tidak terkena banjir. Akibat itu dia pernah mengalami hampir tenggelam.
“Kalau banjir, kami tidur di jukung atau mengungsi ke rumah tetangga,” ujarnya.
Berkaitan dengan persoalan kemiskinan di Kabupaten Banjar, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Banjar, Ir. Ida Pressy yang berulangkali ingin dikonfirmasi tidak pernah berhasil ditemui.
Namun demikian, Sekretaris Kepala Dinas Sosial Kabupaten Banjar, Wasis Nugraha yang sempat dijumpai menyatakan, bahwa pihaknya tidak dapat mengetahui secara menyeluruh tentang warga miskin di Kabupaten Banjar, kecuali ada laporan dari perangkat desa.
“Mana kami tahu kalau tidak ada laporan dari tingkat bawah,” lontar Wasis Nugraha saat ditemu oleh wartawan KoranBanjar.Net, Jumat (6/10) lalu.
Ditambahkan, dia tak tahu warga miskin yang berada di wilayah yang jauh, kecuali dekat rumah. “Kecuali yang dekat rumah, kita pasti tahu,” ujaranya dengan nada santai.
Seharusnya, menurut dia, ada sinergi dalam jenjang pemerintahan, dalam hal ini melalui RT setempat, kemudian pembakal terus ke kecamatan dan ke pemerintah kabupaten. Kalau tidak ada informasi, maka tidak bisa diverifikasi.
Hal tersebut, menurutnya lagi, sering disosialisasikan oleh Bupati melalui coffe morning kepada para Camat atau Pembakal agara selanjutnya disosialisasikan ke warganya masing-masing.
“Tolong para Pembakal agar melaporkan apabila ada warganya yang miskin atau bermasalah lainnya untuk melaporkan kepada pihak-pihak terkait,” seru Wasis Nugraha mengutip ucapan Bupati.
Wasis Nugraha memberikan beberapa alternatif, untuk penanganan warga miskin, sebaiknya dilaporkan secara berjenjang mulai RT, Pembakal, Camat hingga Kepala Dinas. Kemudian diverifikasi, cek ke lapangan sejauh mana tingkat keparahan rumah tersebut. Jika masuk verifikasi baru akan dibuatkan perencanaan untuk tahun depan.
“Tidak bisa langsung serta merta bedah rumah, setelah ada informasi semua butuh proses,” jelasnya.
Opsi kedua, lanjutnya, tawarkan ke CSR, kalau-kalau ada dana yang bisa dialokasikan untuk warga tersebut. Opsi terakhir jikalau ada donatur untuk membantu warga tersebut bisa. Karena penanganan kemiskinan itu tidak hanya semata-mata tugas pemerintah tapi juga tugas swasta yang peduli sama masyarakat.
“Diharapkan pihak dari bawah agar melaporkan melalui proposal ke pihak pemerintah kabupaten agar bisa diproses,” pungkasnya .(dra/sen)