Scroll ke bawah untuk melanjutkan
Koran Banjar
Koran Banjar
Sufisme

Tak Ada yang Punya Harta, Meski Sebutir Gula

Avatar
1226
×

Tak Ada yang Punya Harta, Meski Sebutir Gula

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI - Gula dibawa semut. (foto: istimewa)
ILUSTRASI - Gula dibawa semut. (foto: istimewa)

Oleh; Denny Setiawan

Kita tidak memiliki kebaikan sedikit pun, bahkan seumpama mengeluarkan sedekah seribu perak. Kita tidak pernah memiliki harta, meski hanya sebutir gula. Apalagi rumah mewah, perhiasan ataupun tanah yang luas.

Advertisement
Koran Banjar
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Bahkan kita tidak pernah mempunyai ibadah yang disebut pahala, walaupun seberat timbangan debu. Apalagi “berkhayal” menebus syurga dengan pahala sholat.

Mengapa Demikian?

Sederhana sekali. Banyak orang yang “latah” mengucapkan La Haula Wala Quwwata Illa Billah” yang artinya: Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah.

Lidah mereka menyatakan, tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan izin Allah, namun dalam kenyataan, mereka sholat seakan memperoleh banyak pahala dan bisa masuk syurga, mereka bersedekah memberi fakir miskin kemudian seakan berhak mendapat pahala supaya mendapat ganjaran masuk syurga. Padahal, di awal kalimat tadi, mereka menyatakan, “Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah.”

Bukankah sangat jelas sekali, kita tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali dengan izin Allah. Lalu, sejak kapan bisa beribadah, bisa sholat atau bisa bersedah?

Lebih detil lagi. Makhluk hidup, termasuk diri kita, dapat melihat, berbicara, bergerak, berkeinginan hingga melakukan sesuatu karena adanya ruh yang dihidupkan.

Coba, kita kilas balik ke belakang. Makhluk diciptakan dari setetes air mani, INGAT hanya air! Belum ada darah, daging, tulang, urat, sumsum, rambut, otak, mata, hidung telinga, mata, kaki dan lain-lain. Semua belum ada, INGAT!

Lalu, air mani tadi berproses, berubah jadi darah, berbentuk daging, kemudian dikasih mata, hidung, telinga, lengan, kaki dan lain-lain.

Ketika sempurna, disebutlah dengan nama manusia. Itu pun masih seonggok tumpukan daging yang tidak bisa berbuat apa-apa. Satu ketika ditiupkan ruh ke dalam tubuh makhluk manusia tadi. Sampai akhirnya terlahir ke dunia. Ruh manusia itupun tidak pernah putus dari kendali Sang Maha Pencipta, sampai kapan dia “bersarang” di dalam jasad, dan kapan dia harus dikeluarkan dari jasad.

Selama ruh itu “bersarang” di dalan jasad, maka selama itupula si jasad bisa bicara, bisa menangis, bisa tersenyum, bisa bahagia, bisa sholat, bisa bekerja, bisa mendapatkan harta benda, bisa bersedekah dan lain sebagainya.

Begitu si jasad menjadi kaya dan punya harta, bahkan bisa ibadah, lantas berkata, ” Alhamdulillah saya bisa menunaikan ibadah sholat, semoga Allah memberikan pahala dan Allah membalas dengan surga.”  Adapula, membagi-bagikan harta, sedekah, seakan menjadi orang yang paling dermawan dengan minta balasan syurga.

Sejak kapan kalian mampu ibadah dan bersedekah? Sungguh hebatnya “mengklaim” perbuatan Allah seakan perbuatan kalian. Lebih parah, meminta imbalan. Wallahu ‘alam.(*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protes RUU Anggota Parlemen Menari Perang Prabowo Ajak Puasa 5 Tahun KPK Lelang Barang Koruptor Gus Miftah Meminta Maaf Gus Miftah Ejek Penjual Es Teh