BANJARMASIN, koranbanjar.net – Mu’allim KH Abdussyukur bin Jamaluddin bin Abdul Karim dilahirkan di kota Amuntai Hulu Sungai Utara sekitar th 1901M pada zaman penjajahan Belanda.
Mulai belajar tentang agama secara mendalam pada usia sekitar 25 tahun sebelum Indonesia merdeka, menuju Kota Makkah Al Mukaramah, selama kurang lebih 17 tahun menuntut ilmu di sana.
Guru-guru beliau kala itu adalah, Syekh Abdul Qodir Mandiling, Musniduddunya Syekh Muhammad Yasin Padang (ahli sanad sedunia), Syekh Amin Quthbi.
Sebelum belajar di Makkah, Mu’alim Syukur pernah belajar secara otodidak dengan guru-guru yang ada di Martapura atau dalam istilah bahasa banjar, mengaji beduduk. Namun dalam riwayat tidak disebutkan nama-nama guru beliau semasa belajar di Martapura.
Pulang dari tanah suci Makkah menuju tanah air, sekitar tahun 1943, tentunya masih sebelum Indonesia meraih kemerdekaan, Beliau kemudian bermukim di kampung Teluk Tiram, lebih masyhur pada masa itu disebut kampung tengah.
Bermula di kampung itu lah Mu’alim mengembangkan ilmu dengan membuka pengajian kitab-kitab kuning di kediamannya. Dari masyarakat awam hingga yang sudah bertitel kyai atau guru banyak belajar kepada beliau.
Akhlak Mu’alim Syukur
“Purnama Teluk Tiram” ini memiliki sifat tawadhu (rendah hati) kepada siapapun dan suka bercanda kepada anak kecil, sehingga dikenal dengan gelar Kai Geritik. Mu’alim Syukur suka mengabulkan hajat orang siapapun adanya tanpa memandang status kaya atau miskin, siapa lebih dulu mengundang maka itulah yang didahulukan.
Kesaksian Ulama
Dalam riwayat, KH Zaini Ghani atau yang disebut Guru Sekumpul pernah mengatakan, Mu’allim Syukur adalah sosok ulama yg mustajab do’anya dan dikatakan juga oleh Guru Sekumpul bahwa Mu’allim Syukur adalah pasaknya Banjar.
Adapun menurut Habib Ahmad bin Abu Bakar Al-Habsyi (kubah Basirih), Habib Abu Bakar pernah bertutur, seusai pemakaman Mu’allim di mana saat itu baju Habib Ahmad terkena percikan tanah makam (licak) habib berucap;
“Bajuku yang kotor ini biar aku cuci di Sungai Basirih sebagai saksi bahwa Mu’allim Syukur adalah Wali Allah.”
Kemudian kelebihan lainya yang diberikan Allah kepada Mu’allim dalam hal mayyit meninggal tidak wajar, maka beliau bisa mengatasinya agar janazah/mayyit tidak mati penasaran, supaya keluarga mayyit tidak malu.
Wafatnya Sang Purnama Itu
Di hari itu, derai tangis pecah saat terdengar kepergian “Sang Purnama Teluk Tiram” langitpun mendung, laksana ikut berduka atas wafatnya sang panutan ulama karismatik yang tidak tergantikan yaitu Tuan Guru KH Abdussyukur bin Jamaluddin bin Abdul Karim yang lebih masyhur dengan panggilan Mu’allim Syukur
Beliau wafat pada hari kamis tanggal 26 Rajab 1410 H / 23 februari 1990 M, sekitar jam 15.00 siang, di usia kurang lebih 90 tahun. Jenazah Wali Allah itu dihantarkan ribuan masyarakat dari berbagai kalangan ulama dan para habaib yang berlokasi di Pemakaman Masjid Jami Teluk Tiram.
Mu’allim KH Abdussyukur meninggalkan 5 orang anak dari pernikahannya dengan Hj.Siti Rahmah, diantaranya, KH.Abdul Ghofar, H.Abdurrahman, Masrofah, Abdul Qodir dan Masniah.
Sepeninggal Mu’allim dalam sebuah riwayat, banyak anak muridnya menjadi ulama dan guru terkenal di Banjarmasin.(yon)
Sumber: Manaqib Mu’allim Syukur