KANDANGAN, koranbanjar.net – Pemerintah merencanakan membuat program sertifikasi nikah pada 2020. Pro dan kontra langsung mencuat di kalangan masyarakat.
Wacana ini pertama dilontarkan Menko PMK, Muhadjir Effendy, Rabu pekan lalu. Menurutnya, pasangan yang ingin menikah harus mengikuti kursus pra nikah selama tiga bulan.
Hal ini bertujuan agar pasangan nikah benar-benar siap menghadapi bahtera rumah tangga, sehingga berkurang angka perceraian dan dinilai menyejahterakan.
Pada kelas bimbingan pra nikah tersebut, pemerintah akan menggandeng Kemenag, Kemenkes, dan stakeholder lainnya.
Menko Muhadjir menjelaskan, setelah mengikuti bimbingan, pasangan yang ingin menikah diberikan sertifikat sebagai syarat boleh nikah.
“Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah,” kata Muhadjir di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (14/11/2019), dilansir dari tribunnews.com.
Hal ini mendapat sorotan masyarakat, tak terkecuali di Kalimantan Selatan. Banyak pihak yang menyebut wacana sertifikasi nikah menyutkan.
Sertifikasi Nikah Jika Ingin Nikah Lagi, Bagaimana?
Seperti diungkapkan Rahman (30 tahun), bukan nama asli, warga Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Menurutnya sertifikasi pra nikah tentunya akan mempersulit ruang gerak bagi yang ingin beristri lebih dari satu.
Pria sudah sudah dua menikah karena cerai ini menuturkan, jika sudah siap menikah sayogianya pernikahan itu mudah. Ini pun menurutnya sudah dipersulit dengan adanya budaya dan lifestyle pernikahan hingga resepsi, sehingga memaksa mengeluarkan biaya lebih.
Ia juga mempertanyakan bagaimana nantinya proses mendapatkan sertifikasi, jika ada yang mau menambah istri lagi?
“Hal ini malah membikin angka nikah di bawah tangan akan makin tinggi, terlebih bagi yang mau menambah istri,” terangnya.
Senada dengan Rahman, Rizal (31 tahun) bukan nama asli. Pria asal Desa Gambah Luar Kecamatan Kandangan, Kabupaten HSS yang belum beristri ini mengaku bercita-cita punya istri 4.
“Berarti saya harus 4 kali ikut pendidikan sertifikasi, 4 kali pula dibimbing dengan materi sama, apakah demikian? Atau mungkin saat pendidikan pertama, kita diberi pelajaran larangan beristri lebih dari 1,” ujarnya heran.
Jika sampai dipersulit bahkan dilarang negara, dalam memiliki istri lebih dari satu, hal ini ungkapnya akan keterlaluan, sedangkan agamanya tidak mempermasalahkannya.
Berbeda dengan Adi (22 tahun) warga Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), ia tidak mempermasalahkannya. Sebab ujarnya, nanti sertifikat hasil dari kursus tersebut akan dijadikan koleksi.
“Bisa dipamerkan kartu atau sertifikatnya saja ke teman-teman, jika saya banyak beristri banyak nantinya,” ujarnya.
Saat ini, wacana sertifikasi nikah masih digodok pemerintah bagaimana implementasinya ke depan. Bagaimana pendapat Anda? (yat/dra)