Momen Kartini, Pemikiran Wanita jangan Terkekang

BANJARMASIN, KORANBANJAR.NET – Momentum Hari Kartini 2018, harus dijadikan momentum berkaitan dengan mainset perempuan Indonesia dalam melepaskan dari persoalan-persoalan bangsa. Jika mainstream pemahaman Hari Kartini selama ini seakan menjarakkan antara peran publik dan peran domestik dengan memberikan apresiasi besar perempuan bekerja di ruang publik, maka saya kira pandangan ini perlu mendapatkan penguatan untuk kembali melek pada ruang – ruang domestik.

            “Pandangan ini didasarkan, agar tujuan luhur dari pemikiran Kartini agar perempuan Indonesia tidak terkekang pada konstruksi sosial yang tidak memberikan luas ruang berpikir perempuan ke arah kemajuan, justru bagaimana meluaskan perempuan Indonesia pada pemikiran maju merawat dan membina anak-anaknya dengan baik dengan pendekatan dan wawasan yang melek terhadap kependudukan,” ujar Taufik Arbain, Ketua Umum Koalisi Kependudukan Provinsi Kalimantan Selatan ini.

            Dikatakan Taufik Arbain, menurut data WHO tahun 2017, ada sekitar 7,8 juta dari 23 juta balita di Indonesia mengalami stunting (36,5%) sehingga WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk, akibat kurangnya asupan gizi pada saat janin hingga balita.

            Momentum hari Kartini harus dijadikan sebagai ruang mendobrak pemikiran kebablasan persoalan emansipasi tetapi melupakan ranah-ranah domestic yang memberikan perhatian pada buah hati. Untuk itu jargon  Habis Gelap Terbitlah Terang mesti diapresiasi sebagai adanya pemikiran baru melepaskan dari pengabaikan perhatian terhadap rumah tangga, siaga pada buah hati, dan menambah wawasan kependudukan bagi perempuan baik mereka yang  mengambil peran public termasuk mereka yang mengambil peran domestik (ibu rumah tangga).

Menurut kandidat doktor Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada ini, Hari Hartini selama ini hanya dipahami dalam koridor peran perempuan di ranah publik saja, akibatnya ada sebagian pihak seperti mempertentangkan dengan peran perempuan yang full pada ranah domestik. Terlebih kondisi sosial di zaman now, pola gaya hidup kecenderungan yang mementingkan penampilan menguras  perhatian pada asupan gizi dan dan siaga rumah tangga.

Dosen Fisip ULM ini mengingatkan, tantangan kependudukan bangsa ini bagaimana harus menyiapkan generasi-generasi yang memiliki kualitas kesehatan, pendidikan dan karakter yang baik.

“Untuk itu pasangan usia subur yang sudah berkeluarga sekarang rata-rata mengenyam pendidikan yang bagus, SMA dan PT, sehingga mainset terhadap persoalan pro kependudukan demikian tentu harus terus digalakkan, agar pendidikan yang dicapai berkorelasi dengan pemahaman bagaimana melek terhadap siaga rumah tangga, sekalipun mereka yang  bekerja di ruang publik, apalagi di ruang domestik. Hari ini bangsa kita surplus kelompok berpendidikan, tetapi jangan sampai deficit pemahaman kerumahtanggaan atau melek terhadap isu kependudukan,” tandasnya.(sir)