Diabetes Mellitus (DM) bukan sekadar penyakit individu, melainkan fenomena kesehatan masyarakat yang dampaknya sangat kompleks. Tidak hanya menyerang sistem metabolisme tubuh, tetapi juga melemahkan ekonomi keluarga, menurunkan produktivitas, dan menggerus kualitas hidup secara perlahan.
Oleh: Fathurrahman*
DALAM konteks ini, pendekatan promotif dan preventif berbasis masyarakat menjadi sangat krusial, terlebih di daerah dengan keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan seperti di pedesaan.
Salah satu bentuk nyata dari intervensi berbasis komunitas yang patut diapresiasi adalah kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) oleh tim dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Banjarmasin, yaitu Fathurrahman, Magdalena, dan Sajiman yang dilaksanakan di Desa Melayu Tengah, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Dengan tajuk “Peningkatan Pengetahuan Keluarga dan Keterampilan serta Strategi Menurunkan Prevalensi Diabetes Mellitus melalui Pelatihan Penerapan Jenis, Jumlah dan Jadwal Makan (3J),” kegiatan ini menyasar penderita DM dan keluarganya untuk diberikan edukasi dan pelatihan gizi yang aplikatif dan berkelanjutan.
Berdasarkan data dari Puskesmas Martapura Timur, hingga Maret 2024 tercatat 271 penderita DM di wilayah kerjanya. Angka ini menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi untuk skala pedesaan. Mayoritas penderita merupakan warga lanjut usia, dengan tingkat pendidikan rendah, serta keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola penyakit kronis tersebut.
Banyak dari mereka tidak memahami kadar gula darah normal, tidak rutin memeriksakan gula darah, dan masih mengikuti kebiasaan makan yang tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan DM.
Lebih dari itu, rendahnya pemahaman mengenai prinsip makan sehat juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, di mana makanan dengan indeks glikemik tinggi seperti nasi putih, mie, dan kudapan manis, masih mendominasi konsumsi harian masyarakat.
Pengetahuan mengenai pentingnya aktivitas fisik, manajemen stres, dan kepatuhan terhadap pengobatan juga masih terbatas.
Situasi inilah yang mendorong Tim Pengabmas Jurusan Gizi untuk menyusun program intervensi terarah dengan pendekatan yang komprehensif, partisipatif, dan berbasis kearifan lokal.
Bukan hanya mengandalkan ceramah semata, tetapi menggabungkan edukasi, praktik langsung, evaluasi, hingga pembentukan kelompok pendukung bagi penderita.
Rangkaian Kegiatan: Edukasi Gizi Bertahap dan Terukur
Kegiatan PkM yang dilaksanakan di Desa Melayu Tengah menyasar penderita DM dan kader kesehatan lokal. Tim pelaksana terdiri dari dosen Jurusan Gizi Poltekkes Banjarmasin dan mahasiswa tingkat akhir yang sudah mendapatkan pembelajaran tentang epidemiologi gizi dan manajemen dietetik komunitas.
Program ini dibagi menjadi dua tahapan utama. Tahap pertama adalah edukasi, meliputi pemahaman dasar mengenai penyakit DM, pengaruh pola makan terhadap kadar gula darah, dan prinsip pola makan 3J (jenis, jumlah, dan jadwal).
Penyampaian materi dilakukan melalui ceramah interaktif, diskusi kelompok, dan pemberian media edukasi dalam bentuk leaflet yang mudah dibaca. Tahap kedua adalah pelatihan keterampilan praktis.
Dalam sesi ini, peserta diajak untuk menakar porsi makan menggunakan alat ukur sederhana, mengenali bahan makanan rendah indeks glikemik, serta menyusun menu sehari-hari sesuai kebutuhan penderita DM.
Menu pelatihan dirancang sesuai budaya makan lokal, antara lain nasi putih, ayam goreng, tahu bacem, sop sayur, dan buah semangka.
Peserta juga mendapatkan konseling individu dari tim dosen dan mahasiswa untuk merancang pola makan yang sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing.
Kegiatan ditutup dengan posttest dan pengukuran gula darah ulang, yang hasilnya menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam pengetahuan dan penurunan kadar gula darah peserta.
Berdasarkan hasil evaluasi, kegiatan PkM ini memberikan dampak positif yang signifikan, ditandai dengan peningkatan pemahaman peserta terhadap materi yang diberikan.
Dari sisi klinis, kadar gula darah rata-rata peserta turun dari 219,8 mg/dL menjadi 189,8 mg/dL yang berarti pelatihan dan praktik 3J berkontribusi nyata terhadap pengendalian kadar gula darah.
Lebih spesifik, jumlah peserta dengan kadar gula darah di bawah 120 mg/dL meningkat dari 4 orang menjadi 9 orang. Sementara itu, jumlah peserta dengan kadar gula darah di atas 200 mg/dL menurun dari 20 orang menjadi 14 orang.
Ini merupakan capaian yang penting dalam konteks penanganan penyakit tidak menular berbasis masyarakat.
Berdasarkan pengamatan tim, faktor-faktor yang mendukung keberhasilan ini antara lain adalah pendekatan edukatif yang sesuai tingkat pendidikan peserta, partisipasi aktif masyarakat, serta penggunaan bahan makanan yang mudah dijangkau.
Antusiasme peserta juga terlihat dari keaktifan mereka dalam diskusi, praktik menakar makanan, serta kesediaan mengikuti monitoring lanjutan di Posbindu.
Salah satu inovasi strategis dari kegiatan ini adalah pembentukan Kelompok Diabetesi Desa Melayu Tengah. Kelompok ini diharapkan menjadi wadah edukasi dan dukungan moral bagi penderita DM secara berkelanjutan.
Kegiatan kelompok ini disinergikan dengan hari buka Posbindu, di mana peserta akan memeriksa gula darah, menerima konseling gizi, dan berbagi pengalaman.
Untuk mendukung kegiatan ini, tim pengabmas juga menyerahkan bantuan berupa alat kesehatan, seperti glucometer, tensimeter, dan timbangan digital.
Ini bertujuan agar pelayanan kesehatan masyarakat tidak terputus setelah program selesai, tetapi justru berkembang menjadi kegiatan rutin yang dikelola oleh masyarakat sendiri.
Kelompok ini juga didampingi oleh kader kesehatan dan petugas gizi dari Puskesmas Martapura Timur, serta mendapatkan dukungan dari pemerintah desa.
Ini adalah contoh sinergi antara institusi pendidikan tinggi, layanan kesehatan primer, dan struktur pemerintahan desa dalam membangun ketahanan komunitas terhadap penyakit kronis.
Refleksi dan Tantangan ke Depan
Kegiatan ini membuktikan bahwa edukasi gizi berbasis masyarakat mampu memberikan perubahan signifikan, baik dalam aspek pengetahuan maupun klinis penderita DM.
Namun demikian, masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk menjaga keberlanjutan dampak program ini.
Beberapa peserta masih menunjukkan kesulitan dalam memahami konsep indeks glikemik, menyusun menu bervariasi, dan menjaga kepatuhan terhadap pola makan sehat dalam jangka panjang.
Di sisi lain, dukungan keluarga juga menjadi faktor penting dalam kesuksesan manajemen DM, yang belum sepenuhnya optimal di masyarakat.
Dibutuhkan edukasi lanjutan dan tindak lanjut periodik, baik oleh tim pengabmas maupun oleh petugas kesehatan setempat.
Pemberdayaan kader, pelatihan lanjutan, dan penyediaan media edukasi yang lebih praktis (seperti poster, buku saku, dan video tutorial) dapat menjadi strategi yang efektif.
Apa yang dilakukan oleh Tim Pengabmas Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Banjarmasin bukan hanya sekadar kegiatan pengabdian rutin, tetapi merupakan model nyata dari intervensi promotif dan preventif yang berdampak langsung.
Pendekatan partisipatif, berbasis data, dan kontekstual menjadikan program ini efektif sekaligus relevan dengan kebutuhan masyarakat desa.
Dengan mengedepankan pendidikan gizi sebagai fondasi pengendalian penyakit, serta melibatkan masyarakat secara aktif, program ini mampu menciptakan perubahan perilaku yang positif dan berkelanjutan.
Ini sejalan dengan prinsip pembangunan kesehatan yang menekankan pemberdayaan masyarakat sebagai garda terdepan.
Diharapkan, keberhasilan program ini menjadi inspirasi dan referensi bagi institusi pendidikan tinggi lainnya di Indonesia untuk turut serta mengambil peran nyata dalam mengatasi penyakit tidak menular melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang terencana, terstruktur, dan berdampak.
*Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Banjarmasin