Tahun 1850, berdasarkan sensus pada waktu itu, sudah ada lebih 2.000 warga Tionghoa di Banjarmasin.
Kedatangan yang sudah cukup lama, tidak terhindarkan hingga terjadi pembauran. Budaya, tradisi, adat–kebiasaan dan bahkan agama, membaur sedemikian rupa.
Begitu juga proses kawin-mawin, melahirkan generasi dan pembauran yang semakin kental. Bahkan terungkap sejarah Phang Tje yang diudang secara khusus ke Istana Banjar untuk mengerjakan ukiran untuk bangunan istana, hingga kemudian dia kawin dengan keluarga Istana Banjar dan menetap.
Melalui anaknya yang masih menggunakan nama Tionghoa Phang Kwan dan Phang Kiu kemudian menurunkan banyak warga keturunan Tionghoa.
Kemudian juga terungkap tokoh nasional asal Banjarmasin yang terlibat dalam pergerakan nasional, namun kemudian nasibnya berujung tragis. Liem Koen Hian, lahir 1896, seorang tokoh wartawan dan politik era Hindia Belanda dan berperan dalam BPUPK, berjuang mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Begitu juga dengan peran warga Tionghoa dalam militer, terungkap banyak yang bergabung dalam ALRI Divisi IV, misalnya Lie Kie Ming, atau dikenal juga dengan kapten Ali Budiman.
Lie Kie Ming, seorang yang semula berkeja di bengkel sepeda, namun kemudian menjadi ahli perakit senjata untuk kebutuhan perjuangan.
Dalam perjuangannya, mengajak puluhan kawan-kawannya ikut berjuang bersama pejuang lainnya di Kandangan.
Di balik sejarah ini pun juga terungkap peran dan jasa para tokoh Tionghoa dalam mendirikan Universitas Lambung Mangkurat. Bahkan sejumlah donator, adalah warga Tionghoa. Karena andil yang cukup besar.
Akhirnya bendahara dan sekretaris Universitas Lambung Mangkurat pada waktu itu diisi warga Tionghoa. Pun dalam pendirian Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fisip dan Fakultas Kesehatan, tidak terlepas dari peran para tokoh Tionghoa.
Peran kepemudaan dan pendidikan juga sangat besar. Tidak ada yang dapat melupakan keberadaan Hipindo, yang bergerak dalam kepemudaan, membentuk pemadam kebakaran pertama di Banjarmasin, dan bergiat dalam pendidikan dasar.