LOKSADO, koranbanjar.net – Alam, budaya dan adat serta keyakinan melebur menjadi satu dalam kehidupan masyarakat adat Meratus. Mereka ‘menggigit’ kuat warisan adat dan budaya para leluhur. Salah satu contohnya upacara aruh adat yang dilaksanakan rutin tiap tahun usai panen padi.
Aruh adat sebagai repsentasi rasa syukur pada Tuhan sang pencipta alam. Selain itu juga sebagai rasa terimakasih pada alam dan roh-roh para leluhur.
Bertani adalah pokok penghidupan masyarakat adat Meratus. Upacara syukuran atas hasil tani sudah mereka lakukan sejak dulu kala. Biasanya ritual dilakukan saat menanam padi maupun setelah panen.
Masyarakat adat Meratus bertani padi di kaki hingga puncak gunung setiap tahunnya. Proses bertani itu dilakukan secara adat istiadat yang berasas menjaga “ketenangan” alam dan roh leluhur mereka.
Bahkan, dalam melakukan sesuatu hal apapun mereka memiliki aturan dan pantangan tersendiri, seperti meminta izin kepada roh nenek moyang saat memasuki hutan. Kendati tidak ada aturan tertulis, namun sejak zaman dahulu terus mereka taati.
Salah seorang warga adat Meratus yang merupakan Kepala Desa Haratai, Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Marto menuturkan, setelah membuka lahan dan dilakukan prosesi adat, setelah itu lahan ditugal (membuat lubang benih di tanah dengan tongkat yang runcing) atau ditanami bibit padi langsung, kemudian dibersihkan dari rumput liar.
“Kami bertani tidak menggunakan obat, jadi ini alami,” ucapnya kepada Koranbanjar.net saat pelaksanaan Aruh Adat di Balai Kadayang, Sabtu (22/6/2019).
Setelah dua hingga tiga bulan ditanam dan subur hingga padinya menguning, masyarakat kemudian melakukan ritual adat yang pertama. “Kita memohon kepada Tuhan yang maha kuasa bahwa kita minta supada padinya bersih, hasilnya bagus,” ucapnya.
Setelah padi matang dan dipanen secara gotong-royong dengan keluarga kemudian dikumpulkan di lumbung, saat itu juga biasa dilakukan ritual kecil-kecilan yang disebut ‘Basasambut’ atau ‘manyambut huma’ yang berarti menyambut hasil panen dalam rangka mendoakan keberhasilan panen.
Untuk melakukan aruh adat, harus menunggu seluruh warga di suatu kampung harus selesai melaksanakan panen padi seluruhnya, biasanya dilakukan antara Juni hingga Agustus.
Setelah panen, padi diirik atau diiles, yaitu cara merontokkan padi dari malainya dengan menginjak-injak. Setelah itu gabah dijemur yang mana setelah dianggap benar-benar kering baru dibawa ke penggilingan padi.
Setelah gabah sudah menjadi beras, baru akan dilakukan pembicaraan mengenai pelaksanaan aruh adat yang biasa disebut ‘Aruh Bawanang’ atau ‘Aruh Manyari’.
Dalam kepercayaan mereka, sebelum Aruh Bawanang dilakukan maka beras hasil panen tersebut tidak boleh dikonsumsi apalagi dijual.
“Dirapatkan dulu di Balai Adat untuk menentukan malam dan tanggalnya Aruh Adat, dan diputuskan oleh Pengulu Balai Adat (pemimpin),” ucap Marto lagi.
Setelah sepakat tanggalnya, akan diumumkan secara lisan ke lisan pada warga dan keluarga di luar kampung bahwa akan dilaksanakan Aruh Adat di balai tersebut. Biasanya mereka mengundang terbuka untuk siapapun yang mau datang.
“Undangan secara lisan, dimana saja bertemu siapapun akan diundang untuk meghadiri meskipun dari luar daerah sekalipun,” ujarnya.
Marto mengatakan, kehidupan bertani dan upacara adat tidak terpisahkan, dan dilaksanakan sejak zaman nenek moyang sebelum dicetuskannya UUD 1945.
“Jadi sampai sekarang sudah jadi budaya untuk dayak Meratus di Kalimantan Selatan, inilah PR yang paling utama,” ujar Marto berkaitan belum jelasnya status masyarakat adat dan undang-undang masyarakat adat. Bersambung.
Penulis: Muhammad Hidayat
Editor: Hendra Lianor