Tak Berkategori  

Mengintip Aruh Adat Meratus (2), Para Balian Membaca Mantra

LOKSADO, koranbajar.net Di kampung adat Meratus, setelah seluruh warganya selesai panen padi, dilakukan acara Aruh Bawanang atau Aruh Manyari di Balai Adat.

Aruh adat tersebut dimaksudkan sebagai rasa syukur kepada alam dan dewa-dewa. Begitu kepercayaan mereka bagaimana menyukuri atas keberhasilan panen masyarakat.

Kampung Kadayang secara birokrasi merupakan wilayah Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Kampung Kadayang salah satu dari puluhan kampung adat Meratus yang melakukan Aruh Bawanang beberapa pekan tadi. Sejak Jumat (21/6/2019) sore, sudah mulai dilaksanakan baik siang maupun malam.

Kampung Kadayang berada paling pelosok Loksado. Akses jalannya tidak menyenangkan bagi yang tidak terbiasa melewati medan ekstrem. Akan tetapi terbayar dengan keindahan pemandangan alam yang sangat menawan.

Baca juga: Mengintip Aruh Adat Meratus (1), Proses Menanam Padi dan Warisan Leluhur

Memasuki Kampung dengan penduduk terlalu ramah tersebut, setiap pengunjung melewati rumah warga akan dipanggil untuk mampir bersilaturrahmi dan mengobrol. Bahkan disuguhi minuman dan makanan ringan. Jika menyinggahi setiap rumah anda bisa kekenyangan!

Sebelum memulai aruh, Jumat (21/6) pukul 16.00 wita, di depan Balai Adat Kadayang dilakukan ritual yang disebut Bakariau oleh pengulu adat (pemimpin) didampingi beberapa orang Balian (orang yang bisa melakukan ritual adat) lainnya.

Kemudian dimulai dengan penyembelihan hewan Babi. Sementara yang lain menyiapkan makanan dan minuman. Ritual tersebut untuk memberikan penghormatan dan mengundang para roh leluhur mereka.

Memasuki pukul 18.00 waktu setempat, seluruh warga dan tamu diajak memasuki Balai Adat. Saat itu suasana sangat ramai dengan macam-macam topik obrolan antar warga setempat maupun tamu dari luar. Ada tamu dari Kandangan, banyak pula warga Kadayang yang sudah tinggal di luar daerah yang sengaja pulang kampung.

Makanan ringan disiapkan di setiap kerumunan orang-orang yang mengobrol dengan minuman soda, kopi maupun teh serta tak lupa rokok. Setiap yang hadir tidak akan kelaparan, sebab setiap beberapa menit ada saja yang menawari makan, minum dan rokok.

Pukul 19.00 mulai disiapkan nasi dengan berbagai sayur dan lauk. Semua orang makan bersama dengan gembiranya.

Usai makan, baru disiapkan perlengkapan aruh. Beras di dalam bakul juga lamang yang masih di dalam buluhnya ditaruh di tempat yang mereka menyebutnya panggung atau lalaya.

Lalaya merupakan tempat meletakan sesajen berada di tengah balai dengan hiasan daun aren muda, buluh kuning, kayu yang diukir serta bunga-bungaan yang mereka menyebutnya kambang habang (bunga merah).

Pengulu adat yang kerap disapa Innul, kemudian duduk di depan kumpulan bakul beras. Ia mulai mengucapkan mantra – mantra yang tidak dimengerti orang awam.

Setelah itu dengan iringan bunyi gamelan, pengulu dan diikuti para balian melakukan tarian Bakanjar. Tarian tersebut dilakukan dengan menghentak-hentak kaki sambil mengelilingi lalaya. Anak-anak dan yang lainnya pun turut ikut mengikutinya. Sekitar setengah jam selesai.

Saat para Balian menjalankan ritual, warga lain masih berbincang ria di balai, anak-anak bermain-main. Ada yang bermain domino untuk menghilangkan kantuk, sebagian ada yang sudah tiduran saat larut malam.

Setelah itu para balian mulai menyiapkan pakaian adat berupa sarung dan kain putih yang dililit di pinggang serta laung atau ikat kepala. Kaum perempuan yang keluarganya mengikuti aruh membagi per biji beras secara berkeliling pada tiap balian.

Lalu mereka mulai mengucapkan kalimat-kalimat yang hanya dimengerti oleh para Balian saja. Suara gemelan berbunyi lagi. Kali ini perempuan yang bergantian memukul gamelan. Tarian Batandik mulai diperagakan para Balian. Sesekali perempuan yang memukul gemelan tersebut juga mengucapkan kalimat yang tidak dimengerti orang awam.

Gemelan Dayak Meratus

Gemelan khas Dayak Meratus dibuat dari pohon pilihan yang dilubangi tengahnya berdiameter 10-15 CM, dengan senar terbuat dari kulit hewan langka seperti rusa, kijang ataupun sejenisnya.

Memukulnya dengan tangan kanan menggunakan stik dari bambu yang dipotong kecil, sedangkan tangan kiri memukul tanpa stik.

Memukulnya pun ada aturannya sehingga penari Bakanjar, Babangsai ataupun Batandik dapat menyesuaikan tempo dan pukulan dari gemelan tersebut.

Kembali ke aruh. Pengulu adat memimpin para Balian melakukan tarian Batandik sambil mengelilingi lalaya yang tetap mengucapkan kalimat pemujaan kepada leluhur dan roh-roh gaib. Kadang-kadang pukulan gemelan semakin cepat, kadang menurun.

Adakalanya para balian kembali duduk mengelilingi lalaya diwaktu tertentu, memasuki pukul 02.00 dinihari…(Bersambung)

 

Penulis: Muhammad Hidayat

Editor: Hendra Lianor