Hari-hari dilalui Sadri (58) dengan mengayuh sepeda tua karatannya dengan membawa beban tanaman obat dan bunga hiasan. Berniat merantau ke Martapura untuk meringankan beban keluarga, dengan berjualan tanaman obat dan bunga hiasan, tubuhnya yang tua dan bongkok membuat setiap mata yang memandang menjadi iba dan kasihan.
IMADE CHANDRA HUSEN – Martapura
SADRI yang berasal dari Barabai mengadu nasib ke Matapura dengan bermodalkan kepandaian berdagang tanaman herbal dan juga bunga hiasan. Sudah hampir 1 tahun lebih dia merantau di kampung orang, dengan bermodalkan sepeda dan tanaman obat yang dibawanya setiap hari mengelilingi Kota Martapura. Dan 2 tahun lebih dia berjualan di kampungnya sendiri.
Dari atas rombong sederhana pada sepeda tuanya yang sudah karatan, tertata dengan rapi tanamann-tanaman obat yang dibawanya langsung dari Barabai, Sabri menanam sendiri apa yang dijualnya pada sepeda ontel tua itu. Di kiri, kanan, dan belakang rombong tertera tulisan “Jual Tanaman Obat”.
Sabri yang memiliki bentuk tubuh yang berbeda dari orang-orang, namun hal itu tidak menyurutkan niatnya.
“Saya walaupun tidak seperrti orang pada umumnya, namun hal itu tidak menjadikan alasan bagi saya untuk menjadi seorang yang meminta-minta, dan selagi pekerjaan saya tu halal saya akan tetap lakukan,” ujar Sabri dengan mengacungkan telunjuknya ke atas.
Bapak dengan 5 orang anak dan 2 cucu ini berjuang keras untuk membiayai hidupnya. Sabri yang hidup sendirian di Martapura, lebih tepatnya di Kelurahan Tanjung Rema Darat. Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak begitu besar.
Anak ketiga dari Sabri dan istrinya, sekarang harus putus sekolah dan bekerja di rumah-rumah makan yang mau menerimanya dengan hanya berbekalkan ijazah SMP.
“Pada waktu itu dua orang anak saya berbarengan lulus sekolah, ya karena keuangan keluarga kami yang sangat minim, jadi terpaksa saya mengalahkan salah seorang anak saya,” ucapnya dengan menundukkan wajah dari wartawan koranbanjar.net.
Pria tua itu berkeliling Kota Martapura, menjajakan tanaman obat dengan hasil Rp40 ribu setiap hari.
“Dengan penghasilan empat puluh ribu rupiah perhari itu tentu tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-sari, namun jika di kampung itu lebih dari mencukupi, karena saya di sini harus membeli segalanya seperti beras dan lauknya, kalo di kampung kita tidak membeli, kita bisa memetiknya saja dan tidak bayar,” ungkap Sadri.
Dari atas sepeda tuanya yang sudah karatan, tertata dengan rapi tanaman-tanaman obat yang dibawanya langsung dari Barabai, Sabri menanam sendiri apa yang dijualnya pada sepeda ontel tua itu.
Selain itu dia juga pernah menjadi petani padi, namun karena dana yang tidak mencukupi dia berhenti dan beralih menjadi peternak bebek, hal yang sama kembali terulang, Sabri berhenti dan memulai usahanya karena perdagangan tanaman obat di kampungnnya, karena peminatnya kurang di sana, Sabri membulatkan tekad merantau ke Martapura.(*)