Ada yang Single Parent, Ada pula yang Duduk Ndempet
Kalau menjadi driver ojek online seorang laki-laki, tentu biasa. Tapi bagaimana kalau yang melakoni profesi itu adalah seorang perempuan? Lebih-lebih jika driver ojek onlinenya seorang single parent, itu lebih berbeda lagi. Nah, bagaimana driver ojek online perempuan melakukan profesinya? Ikuti tulisan berikut.
SITI MUHASANAH, Banjarbaru
MENJADI driver ojek online bukan merupakan cita-cita mereka. Awalnya hanya mencoba-coba ikut untuk sekadar menambah penghasilan dan menjajal sebuah profesi yang sering viral di sosial media dan televisi. Setelah merasakan hasil pendapatannya, mereka pun melanjutkan dan menjadikan pekerjaan utama maupun sampingan.
Jika umumnya tukang ojek maupun sopir adalah seorang laki-laki, akan menjadi hal unik jika profesi itu dijalani seorang perempuan. Pekerjaan ini memiliki banyak resiko, seperti harus rela kehujanan, kepanasan, atau risiko mengalami tindak kriminal atau pelecehan seksual serta resiko-resiko yang tak kalah berbahaya.
Izoh (21) asal Martapura, dia baru bergabung menjadi driver ojek online selama 1 bulan, dia mengaku menjadikan ini sebagai pekerjaan utama. Selain uang tips atau uang lebihan dari tarif ojek, dia pun sering mendapat bonus alias insentif dari perusahaan, karena mencapai target perjalanan yang ditentukan.
Lain lagi dengan Siti (23), baru 2 bulan dia bergabung sebagai driver ojek online, dia mengaku mendapat banyak pengalaman menarik saat menjadi driver ojek online.
“Alhamdulillah, penghasilan dari ojek online ini cukup menjanjikan, selain bebas menentukan jam kerja kita sendiri kita pun tak terlalu dibebankan dengan target, ya walaupun ada saatnya orderan sepi, tapi ada juga saatnya rame. Alhamdulillah juga, selama saya menjalani profesi ini saya belum pernah mendapat masalah dengan customer, justru masalah kadang terjadi antar sesama driver yang notabene laki-laki. Saya enjoy aja, mencoba berbaur dengan rekan-rekan ojek online lain meski cuma saya sendiri yang perempuan hehe….” tuturnya.
Meski demikian, tutur Siti, pengalaman unik sekaligus mendebarkan yang dialaminya saat mengantar penumpang di waktu tengah malam, sekitar pukul 23.00 hingga balik pukul 01.30 dinihari. “Padahal, penumpang cuma ingin memberikan surprise kepada istrinya yang tengah berulang tahun, jadi saya jadi korban bapernya deeh..,” ucap Siti.
Berbeda dengan Tuti (46) asal Banjarmasin, dia mengaku sudah menjadi seorang tukang ojek sebelum ojek online muncul di Kota Banjarmasin. Dia seorang single parent yang harus menghidupi anaknya seorang diri, karena ditinggal cerai sang suami. Karena umurnya yang sudah cukup tua, dia biasa dipanggil bunda oleh rekan-rekan ojek yang lain.
“Ya, begitulah. Banyak suka dukanya, contoh kayak customer yang duduk terlalu maju atau yang terlalu njepitin (dempet) kakinya, kan kita sebagai perempuan jadi risih gitu. Seberapapun penghasilannya tetap disyukuri, yang penting cukup untuk makan sehari-hari, karena langganan ojek offline bunda cukup banyak, jadi alhamdulillah pasti ada aja dikasih lebih sama mereka,” ucap Tuti.
Kemajuan teknologi memang tak bisa ditampik, hingga pilihan transportasi seperti ojek pun kini telah berbasis aplikasi dan banyak tersebar di seluruh Indonesia. Sehingga kemajuan teknologi pun berimbas pada emansipasi, mengingat jaman dulu mungkin tidak ada perempuan yang berprofesi sebagai tukang ojek. (*)