PEMBATASAN sosial skala besar (PSBB) di Banjarmasin, dan sebentar lagi akan diterapkan di Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Barito Kuala (Batola) merupakan kebijakan yang harus diimplementasikan dengan melihat berbagai aspek.
Dalam hal ini, saya melihat tiga aspek. Pertama, karakterisktik wilayah. Kedua, karakteristik demografi, dan ketiga, aspek waktu berlangsungnya kebijakan.

Pada aspek karakteristik wilayah, saya melihat berdasarkan perbedaan antara karakteristik perkotaan dengan pedesaan. Di Kabupaten Banjar dan Batola misalnya. Sebagian besar wilayah pada dua daerah itu lebih didominasi karakteristik pedesaan.
Hal itu akan membuat perilaku social dan physical distancing masyarakatnya menjadi lebih terbuka. Efeknya, imbauan tentang aturan PSBB atau pencegahan virus corona akan menjadi lebih mudah disampaikan.
Di sisi lain, pergerakan ekonomi desa tetap berjalan karena masyarakatnya dominan bekerja ke sawah atau mencari ikan.
Tentu saja hal itu berbeda dengan kondisi di kawasan Handil Bakti. Di wilayah Batola yang berbatasan dengan Banjarmasin itu intensitas pergerakan orang memiliki kemungkinan tinggi. Kondisi serupa juga ada di Kabupaten Banjar, seperti di kawasan Jalan A Yani Kilometer 7, Kilometer 14, dan wilayah Kota Martapura.
Dengan kondisi demikian, penanganan pada daerah-daerah tersebut tentu harus dengan PSBB, bukan karantina wilayah. Di sinilah diperlukan model pendekatan yang tidak menimbulkan kecemasan berlebih. Seperti mencegah kerumanan pada malam hari, atau patroli di cafe-café.
Belajar dari PSBB sebelumnya, saya melihat PSBB di Banjarmasin tampaknya telah memilih pendekatan keamanan dan karantina wilayah secara “malu-malu”. Saya khawatir pendekatan seperti itu diadopsi oleh Kabupaten Banjar, Batola, serta Banjarbaru. Harus diingat, filosofi PSBB adalah menjaga ekonomi rakyat tetap bertahan, dan herd imunity.
Sementara pada aspek karakteristik demografi, saya melihat wilayah perkotaan lebih dominan penduduk produktif. Dalam kisaran 60 sampai 70 persen penduduk di perkotaan bekerja di sektor informal. Mereka ada yang bekerja sebagai pedagang, PKL, buruh harian, dan sebagainya.
Fakta demikian menunjukkan bahwa ketergantungan hidup mereka pada pekerjaan jelas berbeda dengan kalangan ASN atau pekerja formal lainnya.
Melihat masalah tersebut, pemerintah daerah harus mampu membuat inovasi kebijakan dalam menangani Covid 19. Kebijakan yang saya maksud adalah kebijakan tanpa ada pembatasan atau penutupan kegiatan usaha kecil masyarakat.
Jika ada kebijakan demikian, maka pembatasannya harus diatur dalam waktu yang tepat, dan harus melibatkan jumlah petugas yang besar di kawasan pasar.
Dalam hal ini, saya menekankan pemerintah jangan bekerja sendiri dengan instrumen institusi. Dana refocusing dari APBD untuk pencegahan Covid-19 bisa saja digunakan untuk mengerahkan para relawan seperti dari kalangan Damkar, LSM, Ormas. Sehingga pembatasan sosial dan ekonomi masyarakat bisa berjalan beriringan selama PSBB. Terlebih saat menjelang lebaran seperti sekarang.
Inilah yang dimaksud bahwa kebijakan itu harus pula memperhatikan aspek waktu kapan kebijakan itu diimplementasikan. Jadi tidak sekadar memilih pada model rational comprehensive, tetapi pada model mixed-scanning. Tidak sekadar pertimbangan kesehatan, tetapi juga pertimbangan rasional economic-politics.
Dalam kondisi ekonomi yang lesu saat ini, pemerintah harusnya tidak sekadar menghadirkan kebijakan (policy), tetapi juga kebijaksanaan (wisdom) dan kebajikan (virutues).
Info Grafis Jumlah Terpapar Covid-19 di Kalsel, 13 Mei 2020
Saat ini pilihan kebijakan yang beranjak dari analisis komprehensif baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya maupun momen yang tepat sangat diperlukan. Hal itu agar masyarakat bisa patuh dan percaya pada pemerintah.
Kita mengakui pemerintah daerah saat ini sedang mengalami kondisi dilematis regulasi. Di satu sisi, ada perintah dari pusat untuk menekankan PSBB namun tanpa disertai pedoman teknis. Dampaknya, inovasi yang dijalankan di daerah mengakibatkan multitafsir dalam penanganan.
Di sisi lain, berubah-ubahnya “fatwa” WHO tentang kesehatan. Apalagi akan ada rencana membolehkan penduduk berusia 45 tahun bekerja keluar.
Untuk itu, dalam permasalahan ini kesadaran publik harus terus kita bangun dengan menghadirkan kepercayaan dan kapabilitas pemerintah. Terutama dalam membuat kebijakan yang tepat. (*)