Tak Berkategori  

KPU Vs Real Count Pilpres dan Palestina

Oleh
Pimred KoranBanjar.Net
Denny Setiawan

Denny Setiawan
Denny Setiawan

Tinggal dalam hitungan hari, KPU RI akan mengumumkan hasil resmi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih.

Masing-masing kubu, baik Paslon 01 maupun Paslon 02 telah mengklaim sebagai pemenang. Tim Pemenangan Paslon 01 melalui TKN menyatakan unggul dengan perolehan suara hingga mencapai 80 juta suara lebih.

Sebaliknya, Tim Pemenangan Paslon 02 melalui BPN Prabowo-Sandi juga telah menyatakan bahwa merekalah yang telah meraih suara terbanyak dengan didasari bukti-bukti yang kuat, seperti form C1 hingga D1. Bahkan ditambah dengan bukti-bukti adanya dugaan praktik kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu oleh tim Paslon 01.

Berbagai opini publik kian “berhamburan” di berbagai media, baik media televisi, cetak hingga media sosial yang muncul dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari rakyat biasa sampai elite politik. Masyarakat seakan dibuat semakin bingung untuk menyimpulkan sebuah kebenaran atau kesalahan.

Tidak hanya menyangkut persoalan demokrasi pemilu, tetapi juga persoalan-persoalan yang sangat menyedihkan, seperti banyaknya petugas penyelenggara pemilu yang tewas dengan sebab penuh “tanda tanya”, persoalan agama yang terseret dalam ranah dihina dan dicaci maki.

Sebagai muslim, siapa yang tidak sakit hati dengan ulah oknum masyarakat yang telah mencaci kepercayaan dan Tuhan, seperti yang bersileweran di berbagai media sosial.

Sebagai penganut agama Islam, tidakkah sebaiknya para pemimpin negeri ini menyelesaikan persoalan satu demi satu terlebih dulu. Sebagai muslim tidakkah sebaiknya penghina-penghina agama tersebut yang harus “diamankan” terlebih dulu? Karena orang-orang seperti ini yang telah merusak tatanan keharmonisan umat beragama.

RENUNGKAN BAIK-BAIK. Tidakkah malu dengan saudara kita di Palestina. Untuk menjaga kesucian Masjidil Aqsa, tidak sedikit nyawa yang melayang. Tidak sedikit para ibu kehilangan anak, para suami kehilangan istri atau para wanita yang menjanda atau para orangtua kehilangan anak.

Mereka tidak sempat membicarakan kekuasaan, bahkan untuk hidup esok hari saja mereka hanya bisa berharap. Darah mengalir di mana-mana, suara tangisan telah menjadi senandung yang telah mereka dengar setiap waktu. Lebih-lebih di bulan suci Ramadan ini, satu istilah yang sangat menyayat hati telah menjadi kenyataan yang mereka hadapi, bahwa “Sahur di dunia, berbuka di surga.”

Sementara itu, di negeri ini “kok?” penghinaan terhadap simbol agama “seakan” biasa-biasa saja. Mengapa tidak bersatu untuk menghentikan itu?

Sebagai muslim, saya sungguh-sungguh dan sangat sungguh bersedih serta ingin melawan mereka yang telah menistakan agama Islam. Karena Islam Cinta Damai. (*)