Tak Berkategori  

Kisah Penjual Bambu (III), Makan Nasi Humbal Dan Tidur Di Atas Lanting

HARI mulai gelap. Sudah setengah hari Yusuf dan kawan-kawan penjual bambu mengarungi Sungai Amandit. Mereka mulai mencari lokasi di mana lanting disandarkan serta menyiapkan makan malam.

Muhammad Hidayat, Padang Batung

PARA penjual bambu memasuki wilayah Bendungan Amandit di Kecamatan Padang Batung, Hulu Sungai Selatan. Biasanya jika sudah sampai di sana matahari mulai tenggelam. Mereka pun mulai mendiskusikan di mana sebaiknya bermalam.

Yang dimaksud bukan sebuah rumah atau bangunan lainnya, tetapi tempat menyandarkan lanting untuk mereka tidur di lanting masing-masing nantinya. Biasanya mencari tempat yang berpantai agar bisa menyalakan api dekat dengan sungai. Selain itu juga harus ada ranting atau sesuatu yang dapat digunakan mengikat lanting agar tidak hanyut.

Sementara mencari permalaman, mereka menggunakan senter kepala untuk penerangan saat mengemudikan lanting. Jika menemukan tempat yang pas mereka menyusun lantingnya berjejer baik mengikat di ranting, pohon hingga mengikat di lanting lain.

“Lokasi persinggahan tidak menentu, patokannya adalah hari gelap kita akan istirahat untuk lanjut perjalanan esok, sebab sampai sini arusnya sudah melambat sehingga perlu tenaga lebih mendorong lanting jadi istirahat dulu,” ucap Yusuf sore itu.

Baca juga: Kisah Penjual Bambu (1), Mengarungi Sungai Amandit 24 Jam

Baca juga: Kisah Penjual Bambu (II) Perjalanan Sulit Mengarungi Sungai Amandit

Setelah semuanya singgah, sebagian mulai mencari ikan baik dengan jala maupun menyelam dengan kacamata air untuk menombak ikan. Yang lainnya menyalakan api, menyiapkan bahan menu makanan.

Menu mereka malam itu adalah nasi humbal, makanan khas masyarakat Meratus. Sengaja mereka membawa bambu buluh untuk membuat nasi humbal, serta daun timbatu dan daun ampan yang tumbuh liar di hutan sekitar tempat tinggal mereka. Bambu buluh digunakan untuk memasak nasi nantinya sebagai pengganti panci.

Cara membikin nasi humbal, beras dibungkus terlebih dahulu dengan daun ampan, kemudian dimasukkan ke dalam paring buluh yang sudah dipotong. Satu ruas buluh cukup muat untuk 6 bungkus beras, tergantung besar kecilnya bungkusan beras. Tak lupa air juga dimasukkan secukupnya. Bambu sudah terisi, saatnya nasi humbal dipanggang.

Nasi Humbal
Proses pembungkusan beras dengan daun ampan membikin nasi humbal. (foto: hidayat/koranbanjar.net)

“Hanya coba-coba memakai daun ampan karena aromanya lebih harum, biasanya orang pakai daun timbatu,” ucapnya sambil membungkus beras dengan daun ampan, kemudian dimasukkan dalam buluh satu per satu.

Selain memasak nasi, mereka juga memasak ubi yang dibawa dari rumah. Cara memasak ubi pun masih sama yaitu menggunakan media buluh sebagai wadah. Memasak ikan pun demikan. Ikan hasil tangkapan yang sudah dibersihkan dimasukkan ke dalam buluh namun tanpa dibungkus daun seperti memasak nasi humbal. Setelah itu semua buluh itu dibakar hingga matang.

Benar sekali, nasi humbal yang dimasak dengan daun ampan beraroma lebih harum dan terasa lebih enak dikunyah.

Kisah Penjual Bambu (III), Makan Nasi Humbal Dan Tidur Di Atas Lanting
Nasi humbal yang sudah matang dibelah dengan parang. Kemudian disajikan langsung. (foto: hidayat/koranbanjar.net)

Setelah semua makan mereka mulai menyiapkan perlengkapan tidur seperti sarung dan alas kardus bekas, mereka tidur di atas lanting masing-masing yang masing berada di atas air mengalir.

“Kami menyebutnya hotel Ambon,” ucap Yusuf. Hotel Ambon merupakan pelesetan dari kata embun, sebab tidur di atas lanting bakal ‘diselimuti’ embun.

Yusuf dan yang lainnya mulai beristirahan untuk mencharger tenaga untuk esok hari. Berada di alam bebas tidur di atas lanting yang disandarkan di bibir sungai, mereka seakan tidak peduli lagi bahaya yang bisa saja menyerang kapanpun, seperti hewan buas atau berbisa.

Semua tertidur pulas, padahal cuaca sangat dingin. Mungkin karena kelelahan usai mengarungi Sungai Amandit setengah hari penuh. Syukurnya malam itu tidak hujan. (dra)