LOKSADO, koranbanjar.net – Sejak dahulu Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan (HSS), menjadi penyalur bambu untuk Kota Kandangan dan Sekitarnya. pengirimannya dengan dirakit menjadi perahu lanting dan dihanyutkan di Sungai Amandit.
Usaha masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan dari tanaman jenis rumput ini sudah menjadi budaya turun-temurun. Bahkan, saat ini menjadi salah satu daya tarik wisata Loksado yaitu Balanting Paring atau bamboo rafting.
Dusun Kandihin yang secara birokrasi bagian dari Desa Halunuk, Kecamatan Loksado, adalah salah satu kampung yang mayoritas lelakinya melakukan usaha jual bambu.
“Menjual di Kandangan dan bisa dihanyutkan lagi ke Negara (Daha) hingga Banjarmasin. Biasanya dijadikan reng untuk kandang ayam hingga dibikin lukah,” terang Muhammad Yunus, Sekretaris Desa Halunuk.
Yunus mengatakan, hampir seluruh lelaki di Kandihin melakukan usaha hasil penjualan bambu. Saat pengiriman bisa lebih dari 10 lanting beriringan oleh warga Kandihin menuju Kandangan.
Tetapi kebanyakan di kampung lain, di Kecamatan Loksado, sudah tidak mengirim melalui sungai lagi, mereka langsung memotong bambu dijadikan reng kecil dan diangkut jalur darat baik motor maupun mobil.
Bahkan pengiriman dari pusat Loksado untuk dijual pun kini jarang terlihat. Kebanyakan hanya lanting (rakit bambu) untuk wisata dari Desa Loksado menuju Desa Hulu Banyu yang setelah sampai kembali diangkut ke Desa Loksado.
Setiap Selasa dari pagi hingga sore hari, kaum lelaki mengumpulkan bambu dari kebunnya (hutan) masing-masing yang kemudian dibawa ke sungai. Pertemuan Sungai Amandit dan Sungai Kandihin menjadi titik kumpul mereka merakit bambu menjadi lanting.
Pertigaan sungai tersebut dipilih karena strategis berada dekat di bawah pemukiman langsung dan arus sungai tidak terlampau deras.
Satu buah rakit paling sedikit 40 batang dan maksimal 150 batang dengan penyusunan 2 hingga 5 lapis batang. “Jika kondisi air sedang surut tidak bisa sampai lima lapis,” kara Yunus.
Yunus mengatakan jika dijual harga bambu yang besar mencapai 15 ribu rupiah per batangnya, tetapi jika kecil bisa cuma 5 ribu rupiah. “Pendapatan sekali angkut ini rata-rata masyarakat antara lima ratus ribu hingga satu juta rupiah,” ujarnya.
Sorenya, lanting masing-masing yang sudah dirakit dihanyutkan dan dikemudikan menuju Batu Kaban -biasa masyarakat menyebutnya-, lalu lanting-lanting diikat di pinggir sungai agar tidak hanyut karena akan ditinggalkan semalaman.
“Dikumpulkan di tempat ini sebagai titik aman saja sebelum keberangkatan, sebab jika melewati Umbak Kandihin, perahu bisa berpotensi terbalik dan membahayakan, apalagi jika beriringan banyak dikhawatirkan bisa saling menabrak,” papar Yusuf, adik dari Yunus mengisahkan saat di atas lanting.
Baca terkait Umbak Kandihin: Menelusuri Eksotisnya Sungai Amandit di Kampung Kandihin
Jarak dari tempat perakitan menuju Batu Kaban sekitar 2 kilometer dengan waktu tempuh sekitar setengah jam dengan menyusuri sungai menaiki rakit. Itu pun perlu keahlian khusus dalam mengendalikan rakit dari derasnya arus dan menghindari bebatuan.
Dengan sebilah bambu kecil para nahkoda di depan, tengah dan belakang saling menusukkan ke dalam air mengendalikan rakit, kadang rakit sedikit menyentuh batu sungai, kadang air sampai ke atas lanting bahkan lebih parah jika tidak ada keahlian bisa menabrak sesuatu dan terbalik.
Ke esokan harinya atau Rabu siang, mereka akan mengemudikan lanting menuju Kandangan atau orang lebih familiar menyebutnya Kandangan Hulu. Waktu tempuh sampai tujuan adalah sehari-semalam. Bersambung…
Penulis : Muhammad Hidayat
Editor : Hendra Lianor