Dalam sebuah kisah, seorang tokoh sufi, Dzun Nun al-Mishri sedang berada dalam perjalanan. Kemudian dia berpapasan dengan seorang perempuan, lalu perempuan itu bertanya kepadanya. “Dari mana engkau?” Dzun Nun menjawab, “Aku adalah orang asing yang sedang mengembara.” Kisah ini sebagaimana dijelaskan oleh Abu Nu’aim al-Asfahani dalam karyanya Hilyatul Auliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’.
Perempuan tersebut berkata kepada Dzun Nun, “Celakalah engkau! Adakah kesedihan yang asing di sisi Allah, sedangkan Dia pelipur orang-orang asing dan penolong orang-orang lemah.”
Mendengar ucapan perempuan itu, sontak Dzun Nun langsung menangis. Sang perempuan melihat Dzun Nun menangis bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Dzun Nun lalu menjawab, “Obat telah menyentuh penyakitku yang lama memborok, dan aku berhasil sembuh dengan cepat.”
Mendengar ucapan Dzun Nun seperti itu, perempuan itu lalu berkata, “Apakah engkau berkata jujur, mengapa menangis?” Mendapat pertanyaan seperti itu, Dzun Nun balik bertanya, “Apakah orang jujur tidak menangis?” Perempuan itu menjawab lagi, “Tidak.” Dzun Nun pun semakin penasaran dan kembali bertanya, “Kenapa?”
Perempuan itupun kembali menjawab, “Karena menangis membuat hati manusia merasa nyaman, dan menangis adalah tempat bersandar. Hati tidak menyembunyikan apapun yang lebih berhak disembunyikan, selain teriakan lirih dan lantang. Ini merupakan kelemahan para tabib dalam menghilangkan penyakit.”
Mendengar jawaban perempuan itu, Wajah Dzun Nun memandanginya, menampakkan rasa kagum atas ucapan perempuan tersebut.
Perempuan itu lalu bertanya kepada Dzun Nun, “Kau kenapa?”
Dzun Nun menjawab, “Aku kagum dengan perkataanmu ini.”
Sang perempuan itu bertanya kembali, “Dan sekarang engkau sudah lupa dengan borok yang engkau tanyakan itu?”
“Tidak seperti itu, aku justru sangat butuh tambahan-tambahan petuah lainnya.” jawab Dzun Nun kepada perempuan tersebut.
Sang perempuanpun berkata, “Engkau benar. Cintailah Rabbmu dan rindukanlah Dia. Karena Dia mempunyai satu hari yang pada hari itu, Dia tercermin di atas kuasa kemulian-Nya bagi para wali dan kekasih-Nya. Lalu Dia mencicipkan mereka secangkir cinta-Nya, sehingga mereka akan merasa dahaga setelahnya, untuk selama-lamanya.”
Tak lama kemudian, perempuan tersebut tersedu serta berseru, lantang dan lirih silih berganti, sambil berkata, “Wahai Tuanku, berapa lama Kau tinggalkan aku di negeri yang tak kudapati di dalamnya seorangpun yang memaksaku untuk menangis seumur hidupku.” Setelah berucap begitu, perempuan tersebut pergi meninggalkan Dzun Nun al-Mishri.
Selama ini, menangis sering diidentikkan dengan sifat cengeng atau rapuh. Sehingga orang yang menangis sering dianggap sebagai orang yang lemah. Padahal menangis, menurut para sufi, bisa diartikan sebagai proses untuk menghayati berbagai perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu, sekaligus untuk mengintrospeksi diri. Bahkan menangis bisa membuat hati tenang, apalagi menangis di tengah kesedihan dan lantunan-lantunan doa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda;
لا يلج النار رجل بكى من خشية الله حتى يعود اللبن في الضرع
Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya. (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis yang lain, beliau bersabda;
عينان لا تمسهما النار ، عين بكت من خشية الله ، وعين باتت تحرس في سبيل الله
Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam jihad di jalan Allah. (HR. Tirmidzi)
Menangislah dalam kesendirianmu, kesunyianmu atau dalam kesedihanmu. Bisa jadi dari hal tersebut bisa menimbulkan keikhlasan dalam diri, membuat hati menjadi lembut dan tentunya supaya selalu berharap pertolongan kepada sang Pencipta dan semakin mesra dengan-Nya. Karena Dialah yang menciptakan kesedihan dan kebahagiaan. Oleh karena itulah jadikan kesedihanmu untuk selalu mengingat Dia yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Agar hatimu tetap tenang di tengah luka menanti rasa yang tak kunjung terbalas.(islam.co)