Oleh Pimred KoranBanjar.Net ; Denny Setiawan
PEMBUNUHAN demi pembunuhan sadis belakangan telah menghiasi headline berbagai media di banua ini. Mulai media online, cetak hingga elektronik. Lebih ironis, motif yang memicu tindak kejahatan itu terbilang sepele. Seperti pembunuhan yang memisahkan kepala dengan batang tubuh Rahmadi di Desa Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk sangatlah sederhana. Hanya lantaran sakit hati sering dibuli, pelaku Amat, warga Kuala Kapuas tega melakukan tindakan sekeji itu (baca selengkapnya: www.koranbanjar.net).
Hanya selang beberapa hari setelah kasus itu terungkap, pihak kepolisian kembali disibukkan dengan tindak kejahatan yang diduga bermotif perampokan. Seorang wanita cantik, Levie Presilia (35) harus meregang nyawa dengan luka gorok di leher dalam sebuah mobil Suzuki Swift warna biru di lingkungan Hotel Aston, Kecamatan Gambut (baca selengkapnya: www.koranbanjar.net)
Nah, menelusuri 2 peristiwa sadis itu, apakah oknum warga kita segampang itu mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa seseorang? Atau apakah, warga kita menganggap bahwa hukuman bagi seorang pembunuh itu masih terlalu ringan? Sehingga ada saja yang melakukan sekeji itu?
Menurut saya, mencermati kasus-kasus tersebut tentu sangat diperlukan analisa seorang Crime Pcycolog atau Psikologi Kriminal. Menjawab fenomena tindak kejahatan yang sekarang mulai “menghantui” masyarakat. Ada berbagai kemungkinan persepsi yang terjadi di tengah masyarakat. Antara lain, masyarakat akan menjustifikasi (justice) pelaku tindak kejahatan itu dengan berbagai caci maki, cemooh atau (mungkin) bertindak anarkis. Sebaliknya, apabila hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tidak mewakili pendapat mayoritas masyarakat umum, tak mustahil akan memicu munculnya tindak kejahatan yang sama pada waktu-waktu berikutnya.
Sebetulnya tindak kejahatan sadis seperti ini sudah tentu mengandung banyak latar belakang. Mulai dari persoalan terbilang sepele sampai persoalan yang memang cukup berat. Hal terpenting, motif di balik peristiwa pembunuhan sadis ini sudah seyogianya diungkap secara luas. Supaya masyarakat dapat memperoleh pendidikan secara umum tentang pencegahan tindak kriminal yang berujung pada pembunuhan sadis.
Misalnya, kasus pembunuhan tanpa kepala yang dialami Rahmadi alias Madi. Sejauh ini, masyarakat luas mengetahui bahwa motif tindakan pelaku karena sakit hati sering dibuli dan makin sakit hati karena di-PHK dari pekerjaan oleh sebab tindakan korban. Namun apakah sesimpel itu, sehingga dia tega memenggal kepala korban, kemudian membuangnya? Tidak kah mungkin ada latar belakang lain yang memicu tindakan tersebut, contohnya lantaran sakit hati rebutan pacar, menutupi aib yang lebih besar hingga menghabisi korban karena menyimpan aib-nya dan masih banyak lagi?
Begitu pula dengan kasus pembunuhan yang dialami Levie Presilia. Sementara ini, pihak kepolisian dapat mengungkap, bahwa motif perbuatan itu diduga karena adanya unsur pencurian dengan kekerasan. Sesungguhnya terdengar janggal? Kalau pelaku sedang melakukan tindak pencurian dengan kekerasan, lalu mengapa dia tidak sekaligus mengambil mobil yang dimiliki korban? Jangan-jangan ada latarbelakang lain, semisal keterlibatan pihak ketiga yang menginginkan Levie dihabisi?
Nah, kemungkinan adanya latar belakang lain atas tindak kejahatan itu sangat penting untuk diungkap lebih detil. Untuk itu perlu adanya masukan dan pendapat dari mereka yang ahli di bidangnya. Antara lain, pakar hukum, psikolog, bahkan dokter penyakit jiwa. Semoga latar belakang di balik tindak kejahatan keji itu dapat diungkap. (*)