BANJARMASIN,KORANBANJAR.NET – Peristiwa kerusuhan 23 Mei 1997 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jumat Kelabu yang terjadi di Kota Banjarmasin 21 tahun silam menyisakan berbagai persepsi dan prespektif dari berbagai kalangan hingga kini.
Lazimnya, banyak pendapat mengatakan Tragedi Jumat Kelabu disebabkan adanya rasa ketersinggungan dan kemarahan atas terganggunya para jamaah Masjid Noor di Jalan Samudera yang sedang melakukan shalat Jumat karena euporia dari simpatisan Partai Golkar yang sedang konvoi melewati Masjid Noor.
Namun, menurut kaca mata salah satu dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Program Studi (Prodi) Ilmu Pemerintahan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin saat ditemui koranbanjar.net di ruang dosen Kampus FISIP ULM Banjarmasin, Jumat (25/5), Pathurrahman Kurnain, mengatakan Tragedi Jumat Kelabu memang sangat kental dibumbui unsur politis, namun, akar permasalahannya lebih dilatarbelakangi persoalan ekonomi.
Menurutnya, Tragedi Jumat Kelabu merupakan buntut dari yang namanya pemiskinan struktural, dimana negara pada saat itu tidak berpihak kepada masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
“Bisa terlihat pada saat itu dari kebijakan pemerintah yang memberikan izin pembangunan Mitra Plaza yang tempatnya sangat berdekatan sekali dengan pedagang kecil menengah di pasar Sudimampir dan Pasar Lima Banjarmasin,” ungkapnya.
Master of Arts (MA) jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menyatakan berdasarkan analisisnya, terjadinya Tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin diakibatkan oleh faktor kecemburuan ekonomi.
“Pedagang kecil menengah memang sudah gelisah dengan adanya pasar modern di Mitra Plaza pada saat itu. Dengan adanya Mitra Plaza, masyarakat justru banyak berbelanja ke situ, sehingga omset pendapatan pedagang kecil menengah mengalami penurunan karena kalah bersaing,” terangnya.
Dosen muda kelahiran Kota Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) ini menilai, Pemerintah Orde Baru pada saat itu kurang melakukan kajian.
“Artinya, boleh saja membangun Mitra Plaza tetapi jangan sampai menghancurkan usaha para pedagang kecil. Seharusnya, kebijakannya plaza dibangun jauh dari pusat ekonomi kecil, sedangkan ini kan bersebalahan. Makanya pada saat itupun jemaah di Masjid Noor terdiri dari pedagang-pedagang,” jelasnya.
Jadi, dikatakan dosen yang akrab disapa Pathur ini, Tragedi Jumat Kelabu merupakan wujud atau manifestasi dari kekecewaan dan frustasi para pedagang kecil menengah tehadap pemerintah dan para kaum kapitalis.
”Secara ekonomi, para pedagang kecil menengah tidak bisa bersaing karena kuatnya kepemilikkan modal para kaum kapitalis,” ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan Pathur, terkait isu perkelahian antara oknum preman salah satu partai poltik beberapa hari sebelum terjadinya kerusuhan seperti diceritakan dulu, dan ada para simpatisan partai atau peserta kampanye Partai Golkar berkonvoi menggunakan motor dengan suara yang nyaring sebagai euporia di hari terakhir masa kampanye Pemilu saat itu, dan lalu dinilai menggangu oleh para jamaah Masjid Noor yang sedang melakukan shalat Jumat, itu hanyalah pemicu terjadinya kerusuhan saja, sedangkan akar permasalahannya adalah lebih dikarenakan adanya kesenjangan ekonomi pada saa itu.
“Menurut saya, akar permasalahanya bukan soal antara Partai Golkar dan PPP pada saat itu, tetapi perspektifnya adalah lebih dikarenakan faktor kesenjangan ekonomi. Orang kalau sudah berurusan soal perut dan hidup mati ekonomi, orang bisa berbuat nekat apa saja. Ini sudah disajikan dari beberapa peneliti, bukunya juga ada. Dan mengenai analisa Tragedi Jumat Kelabu ini, pernah saya kerjakan dalam tugas saya waktu saya kuliah S2 di UGM dulu,” paparnya.
Sedangkan terkait dengan isu sentimen oleh masyarakat setempat terhadap keberadaan etnis Cina yang dimana pada saat kerusuhan terjadi, toko-toko dan bangunan milik orang Cina juga menjadi sasaran amukan massa, Pathur berpendapat, itupun hanya sebagai salah satu pemicu terjadinya kerusuhan saja.
“Masyarakat Banjarmasin adalah masyarakat yang toleran terhadap berbagai suku,” pungkasnya.
Menanggapi terkait dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa Jumat Kelabu hingga meyebabkan banyak korban tewas dan hilang, menurut Pathur, sangat perlu untuk mengusutnya, sepanjang kita masih bisa menemukan fakta-fakta itu.
“Dari situ kita dapat melihat bahwa sejauh mana pemerintah pusat benar-benar serius dalam menegakkan HAM termasuk korban-korban pada Tragedi Jumat Kelabu yang hingga kini masih menjadi misteri. Siapa yang bertanggung jawab?” katanya.
Diakhir wawancara, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip ULM ini berpesan, pemerintah saat ini harus menjaga warga negaranya dengan sebaik-baiknya. Kalaupun terjadi suksesi pemerintahan, haruslah berjalan sesuai dengan konstitusional dan damai.
“Pergantian masa kepemimpinan itu adalah wajar, namun jalankan dengan cara-cara konstitusional. Jangan lagi menimbulkan korban karena sudah banyak korban yang menderita hanya demi untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan besar. Ciptakanlah rezim reformasi yang lebih bersih, transparan, akuntabel dan demokratis,” pesannya.
Hingga sampai saat ini, peristiwa Jumat Kelabu 23 Mei 1997 di Banjarmasin masih menjadi bahan perbincangan di masyarakat, karena dalam tragedi tersebut banyak sekali korabn tewas dan hilang tak ditemukan hingga kini.
Tidak adanya tindakan hukum dari pemerintah kepada pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa kelam itu membuat Tragedi Jumat Kelabu sebagai salah satu kerusuhan terbesar di Indonesia semakin membuat luka yang mendalam di hati masyarakat Banjarmasin, khususnya bagi para keluarga korban kerusuhan Tragedi Jumat Kelabu. (leo/dny)