SULIT rasanya saat ini menemukan seorang ulama besar se-kaliber Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau lebih dikenal Guru Sekumpul. Khususnya di Kalimantan, bahkan mungkin se-Asia. Meski kewaliannya tak diragukan semua orang, namun akhlak dan adabnya dalam memuliakan seseorang tak pernah memandang kedudukan dirinya, atau kedudukan orang lain. Siapapun yang pernah bertamu ke kediamannya, walaupun hanya seorang tukang pijat, selalu disambut bagaikan raja.
DENNY SETIAWAN, Martapura
SENIN MALAM di tahun 2005 silam, penulis pernah mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani di kediaman Komplek Ar Raudhah Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan.
Saat itu, Guru Sekumpul masih dalam perawatan dokter, karena sakit yang dialami. Kendati demikian, tak sedikit pun dari raut wajahnya menunjukkan rasa sakit, apalagi berkeluh kesah. Dia berada di dalam kamar, tengah duduk di atas kasur. Bibirnya selalu melempar senyum, tutur katanya bersahaja, sambil memeluk bantal, dia mempersilakan saya dan seorang kerabat berusia cukup tua yang turut serta, masuk ke dalam kamar.
Begitu kami duduk lesehan, Guru Sekumpul langsung mengutarakan permohonan maaf. “Ulun minta maaf julak lah…., ulun kada bisa turun dari ranjang, keadaan badan ulun kada memungkinkan,” tutur Guru Sekumpul lemah lembut, mengutarakan kepada orang tua yang duduk di samping saya.
Sang orang tua yang ikut dengan saya itu pun terheran-heran menyaksikan budi pekerti yang dicontohkan Guru Sekumpul. Dia seolah tak percaya mendengarkan ucapan permohonan maaf yang santun itu kepada dirinya.
Malam itu, kami terlibat perbincangan yang cukup panjang. Banyak sekali mutiara ilmu yang disampaikan maupun yang ditunjukkan Guru Sekumpul. Salah satunya tentang ketawadhuan yang sangat luar biasa.
Ketika itu, Guru Sekumpul telah menjamu dengan hidangan khas Banjar, berupa makanan laksa. Kami tidak berani mendahului menyentuh makanan itu. Menyaksikan sikap kami, lalu Guru Sekumpul juga meminta sepiring makanan laksa dari keponakannya, agar bisa sama-sama berjamaah menikmati hidangan tersebut.
Sebelum menyantap makanan itu, Guru Sekumpul menghubungi doter pribadinya melalui ponsel. “Dokter…apakah saya boleh makan laksa,” tanya-nya dengan lawan bicara di telepon.
Usai menelepon, Guru Sekumpul pun memberikan isyarat kepada kami. “Abah ini nang-ai kada kawa sembarangan makan, laksa kan banyak santannya. Jadi mencukupkan syarat atau be-syariat dulu, betakun dengan ahlinya. Dokter kan ahli di bidang kesehatan,” ungkapnya.
Mendengar hal tersebut, kami pun hanya bisa melongo. Betapa tawadhu-nya Guru Sekumpul, bahkan untuk makan saja, dia harus berkonsultasi dengan dokter, untuk menjaga kesehatannya agar tetap terpelihara.
Setelah sekian lama kami berbincang, sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 wita. Kemudian, Guru Sekumpul meminta izin akan menerima tamu, seorang tukang pijat. Seta merta, dia mengambil uang dari laci yang terdapat di samping ranjangnya. Kemudian dia menghitung uang yang dipersiapkan untuk si tukang pijit.
Tanpa sengaja kami pun memperhatikan Guru Sekumpul yang tengah mempersiapkan uang untuk tukang pijit yang jumlahnya sekitar Rp2.000.000 itu. “Kasihan nang-ai, pa Nang tukang pijitnya jauh-jauh datang, ini rezeki sidin malam ini,” ungkap Guru Sekumpul, sambil tersenyum.(sir/kie)