BANJARMASIN, KORANBANJAR.NET – Pernyataan Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalsel, Suhardi Sarlan yang menyebutkan pungutan fee alur barito untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) sudah sangat jelas dan sesuai prosedur, sepertinya mendapat reaksi dari Ketua Kadin Provinsi Kalsel, Ir. Edy Suryadi.
“Kalau dugaan saya, kalau melihat fakta di lapangan, sepertinya fee alur terlalu besar ke PT Ambapers. Sepengetahuan saya, setor ke PAD cuma Rp30 miliar, itu masih kecil. Coba investigasi, sejak kapan dikeruk, kemudian dalam sebulan dan setahun berapa feenya? Kemudian, berapa biaya pengerukan? Selanjutnya, coba cek berapa kapal dan tongkang dan lain-lain yang membayar fee, apakah hanya Rp30 miliar buat PAD?” tanya Edy kepada koranbanjar.net.
Edy menyarankan, DPRD Provinsi Kalsel semestinya lebih jeli melihat atau ada apa sebenarnya? Alur yang dikeruk mana saja, kemudian titik desainnya di mana, serta nilai kontraknya berapa per tahun?
“Saya hanya mengusulkan agar DPRD Kalsel merekomendasi agar pengerukan dilakukan dengan sistem kanal. Karena alur masih bisa mendapatkan dana dari SDA yang lewat. Kalau nanti SDA-nya habis untuk ke depan, sulit mengembangkan alur tersebut. Saya mengkhawatirkan menjadi sungai alur barito dangkal, kemudian anggaran tidak bisa lagi membiayai pengerukan,” imbuhnya.
Dia mengingatkan, permukaan air laut akan semakin turun, akibat pendangkalan. Hal ini harus diwaspadai beberapa tahun ke depan. Kalau cuma sekadar keruk saja, upaya itu tidak potensial untuk pengembangan alur tersebut. Meski ditinjau dari segi mana pun.
Sebagaimana pernyataan Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalsel, Suhardi Sarlan, sekarang sudah berjalan beberapa tahun, jadi pungutan itu jelas dan masuk ke APBD Provinsi. Cuman masih kurang banyak.
Pungutan fee dari kapal-kapal batubara yang melintasi alur di ambang sungai Barito, masuk melalui PT Ambapers, dan kemudian dimasukkan ke PAD senilai Rp30 miliar setiap tahun. “Silahkan di kroscek lagi ke Badan Keuangan Daerah berapa masuknya setiap tahun,” katanya.(sir)